Lihat ke Halaman Asli

Ryo Kusumo

TERVERIFIKASI

Profil Saya

Dag Dig Dug Brexit: Sejarah dan Efeknya pada Dunia

Diperbarui: 1 Februari 2020   12:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: www.cnnindonesia.com

Malam tadi 23/06, David Cameron si Perdana Menteri Inggris tidak bisa tidur, malam ini pula mantan Wali Kota London, Boris Johnson sama-sama tidak bisa tidurnya. Karena hari ini hasil referendum nasib apakah Inggris Raya tetap di dalam Uni Eropa (UE) ataukah justru keluar dari UE akan diumumkan.

Britain Exit, atau yang dikenal sebagai Brexit adalah sebutan bagi keinginan sebagian masyarakat Inggris untuk keluar (exit) dari UE, mereka menganggap Inggris tidak bisa mengontrol sendiri negerinya, Inggris dikendalikan oleh UE, Inggris tidak mandiri dan sebagainya.

Masyarakat Inggris raya terpecah dua kubu antara kubu Remain (tetap di UE) dan kubu Leave (pergi dari UE). Kubu pendukung Remain diwakili oleh partai buruh, partai yang dianggap progresif, peka terhadap isu kekinian, anti-rasial, care and share menjadi simbol termasuk soal kampanye pengungsi di Suriah.

Sedangkan kubu Leave, banyak berasal dari partai konservatif, partai yang kuno, mengganggap kejayaan masa lalu adalah hal yang patut dipertahankan. Inggris sebagai negara terdigdaya di semenanjung Eropa (dulu) adalah kekuatan yang tidak boleh diintervensi hingga saat ini. Britain first, british is british, britpop never die and no one can disturb.

Termasuk adegan care and share yang diperagakan Jo Cox, politikus partai buruh terhadap isu pengungsi muslim yang dianggap terlalu termehek-mehek yang justru berbahaya bagi ideologi Inggris Raya. Sehingga Jo Cox akhirnya pun dibunuh.

Partai konservatif, partai yang berideologi sangat keinggrisan, mereka mengganggap bahwa leluhur mereka, terutama ayah mereka adalah contoh yang adiluhung, tidak boleh dibantah, kedisplinan adalah mutlak.

Mereka sangat terobsesi pada kejayaan King Arthur atau film-film patriotik semacam "Braveheart". Inggris adalah penguasa daratan Eropa, tidak ada yang boleh intervensi baik politik, ekonomi apalagi agama.

Tak heran, meskipun mereka tergabung dalam UE, namun poundsterling masihlah perkasa, tanpa ada gugatan dari manapun. Tak sudi mereka memakai Euro yang masih bau kencur dan mudah digoyang.

Jika begitu gengsinya, kenapa mereka masuk ke Uni Eropa? Ini tak lepas dari sejarah. Inggris, merekalah yang memperkenalkan demokrasi ala kita sekarang melalui piagam Magna Charta pada 1215 M, merekalah yang menjadi pelopor Revolusi Industri, merekalah negara imperialis penyebar bahasa yang paling berpengaruh di dunia setelah label gold, gospel, glory berkumandang di Eropa.

Namun setelah Perang Dunia II, ekonomi mereka porak poranda, mereka juga terkena serangan Nazi. Inggris yang tadinya negara kreditur terbesar harus kehilangan pengaruhnya, termasuk lepasnya India. Di masa itu munculnya dua kubu, Amerika sebagai kekuatan finansial dan Uni Soviet sebagai kekuatan psikologis.

Efeknya mudah ditebak, Amerika muncul sebagai kreditur bagi negara-negara Eropa Barat yang mengalami kehancuran ekonomi, termasuk Inggris. Munculah Marshall Plan yang salah satu pasalnya berisi: "Mengurangi penghalang-penghalang yang menghambat kelancaran perdagangan antara negara-negara peminjam."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline