Lihat ke Halaman Asli

Ryo Kusumo

TERVERIFIKASI

Profil Saya

Ketika Isu Jualan Sang Jenderal Sudah Tidak Laku Lagi

Diperbarui: 6 Juni 2016   16:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: www.bbcindonesia.com

“Sejarah ditulis oleh Pemenang”

Itulah yang terjadi di Indonesia ketika kami-kami ini yang dulu masih duduk manis di sekolah dasar, harus bersiap sambil bawa cemilan untuk bergadang malam setiap tanggal 30 September tiba, itulah previlege kami sebagai anak kecil, yang dilarang keras nonton "adegan berdarah" oleh bapak ibu kami, bahkan film Barry Prima sekalipun. Tapi soal film G30S, justru kami di wajibkan memelototi satu persatu pisau "gerwani" dalam mengiris para Jenderal yang ditangkap. Ah, adegan berdarah yang mengasyikan dulu.

Setiap adegan terekam hingga kini dan menghasilkan satu propaganda otak yang luar biasa, kami anti-komunis, komunis itu jahat. Belakangan kami tahu setelah rajin membaca beragam buku, novel dan sebagainya, bahwa adegan dalam film itu adalah adegan khayal. Peristiwa itu sendiri masih terkunci dalam kotak pandora yang mustahil dibuka.

Tidak dijelaskan dalam film itu ( ya iyalah) adegan setelah 1965, adegan ketika AD dan kawan kawan membasmi para gembong dan anggota PKI beserta keluarga, kerabat jauh, simpatisan, tetangga yang pernah dikirimi beras hingga teman kecil yang entah darimana juntrungannya. Jumlahnya tidak kurang dari 500 ribu jiwa, bahkan ditengarai lebih dari 1 juta jiwa.

Benarkah tindakan tersebut? Jika mengacu kepada pendekatan das sollen pasca peristiwa 1965, maka tindakan AD adalah betul. "Yang salah harus dihukum, yang memberontak harus di basmi", itulah pendekatan yang di gaungkan jendral besar kita H M Soeharto dalam menghadapi komunis pada 1965. PKI adalah kesalahan fatal, tragedi 1948 adalah contohnya dan kesalahan harus ditebus dengan nyawa.

Ya betul memang pada 1948 PKI telah bersalah hingga Amir Syarifudin dieksekusi sebagai tanggung jawab politik. Tetapi hukum "seharusnya" tidak demikian, das sein atau kongkritnya untuk kasus 1965 bagaimana? Tidak ada yang tahu sampai saat ini, tidak pernah ada pengadilan, gelap, semua hanya ber-manuver menjadi yang paling tahu sejarah.

Kita lupa bahwa sejarah hanya berhak diungkap oleh pelaku sejarah itu sendiri. Karena masih gelap, jadi apakah tindakan AD dalam membasmi para "komunis" itu memang "betul"? Dan apakah acara TV wajib itu memang layak tayang? No one can answer.

Celakanya, generasi kekinian yang saat ini berteriak anti-komunis seperti kesetanan bisa dipastikan kurang baca, kurang selow dan tentunya kurang ngopi dan ngudut untuk berpikir. Bacaan mereka cuma satu, dinding fesbuk sekawanan habib atau jualan seprei ala-ala.

Mungkin bisa dimaklumi karena buku-buku pembanding relatif bersih dari peredaran, hingga beberapa dari mereka dipastikan belum membaca memoar atau novel kesaksian para eks-Tapol. Tapi sekarang, mbah google-lah yang berkuasa kawan.

Tidak perlu mempelajari komunis itu sendiri, tapi setidaknya sebelum kita menulis di dinding fesbuk dan berteriak "anti-komunis, hidup NKRI", kita punya bayangan sejarah. Agar tidak asal teriak tapi justru melupakan kawan kita yang mau mendirikan negara Khilafah itu. Hei, ayo bangun!

Sudah seperti sebuah sumpah, tragedi 65 tidak pernah akan tuntas, pun dengan saat ini. Yasudah, biarkan pandora membuka kotaknya sendiri. Justru isu kebangkitan komunis yang entah darimana datangnya, tiba-tiba muncul, terutama dengan simposium anti-PKI dan..tandingannya, hebat betul.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline