Sebuah negeri yang paranoid, ya Indonesia. Negeri yang secara demografi cocokologi berada dalam zona rentan bahaya laten "ke-baperan" dan "ke-sensitifan", baru beberapa waktu yang lalu ketika tulisan soal cadar muncul akibat keresahan mengenai persoalan tutup aurat yang begitu sensitif, hingga menimbulkan polemik paranoia terorisme, lalu HTI, dan yang paling cetar membahana ya tentu paranoia terhadap WNI keturunan untuk calon Gubernur DKI.
Ke-sensitifan berikutnya muncul dari beberapa berita soal penangkapan pemakai dan penjual kaos berlogo Palu-Arit. Kenapa bermasalah? karena palu arit sangat identik dengan logo partai komunis indonesia (PKI) sehingga logo palu arit langsung dikaitkan dengan kebangkitan PKI, lebih jauh lagi adalah adanya kebangkitan ideologi komunis.
Luar biasa, PKI yang telah "mati" itu di tengarai hidup lagi, bangkit bagai zombie dan akan mengigit setiap anak manusia di bumi indonesia yang bahkan Ratu Belanda pun kesengsem saking manis darahnya. Alangkah mengerikan. Ya alangkah mengerikan pola pikir absurd tersebut.
PKI adalah partai yang kuat akan ideologi. Bahkan dari nama partainya sendiripun sudah mencirikan itu. PKI bukan partai yang asal dibuat untuk kepentingan politik praktis, partai terheboh yang menggoyang Indonesia tahun 1965 itu membutuhkan pondasi awal sebagai pijakan. PKI membutuhkan pondasi ideologi komunis untuk tumbuh lebih dahulu. Lalu apakah pondasi itu ada dan sudah kokoh?
Tolong sebutkan negara yang masih menjunjung tinggi komunis di dunia? Tiongkok, sudahlah tak perlu di bahas kemana sosialis komunisme Tiongkok setelah Alibaba launching ke gadget anda dan beberapa orangnya masuk majalah Forbes. Russia, ini juga tak perlu dibahas setelah Roman Abramovich menggelontorkan uang na'udzubillah jumlahnya ke kas Chelsea, atau foto Tuanku Vladimir Putin sedang berkuda ataupun santai di Yacht. Tak perlu diributkan kemana suara The Motorcycle Diaries-nya kakanda Che Guevara yang ganteng selain sebagai simbol pin-pin jaket dan sablonan di Blok-M. Korea Utara? Lebih baik anda tonton dulu film "the Interview" yang menggambarkan kegelian kaum kapitalis terhadap sosok Kim yang dibunuh dengan rudalnya sendiri.
Bayangkan, jika di negara yang adidaya seperti di atas saja komunisme-nya sendiri sudah luntur, lalu kita ber-lelah lelah gitu mau meributkan kebangkitan komunisme di Indonesia? Apalagi pernyataan menteri pertahanan yang entah bisikan darimana seakan ingin meng-eksiskan dirinya untuk ikut berkolaborasi dalam komedi absurd ini, komedi satire yang tidak lebih lucu dari stand-up.
Justru yang perlu dikritisi dengan munculnya kaos palu arit oleh para dedek gemes dan mas rambut poni itu ialah terancamnya kebebasan warga negara untuk melakukan diskusi, bedah pemikiran dan bahkan pembelajaran. Diskusi bukan cuma bolak balik soal feminisme dan gender, bukan melulu soal Sigmund Freud atau ketidak-efektifan hukum ala Eugen Ehrlich, tapi juga soal Fashl al-Maqaal Ibnu Rusyd hingga Marxisme.
Maka terperangahlah ketika terjadi Insiden Pembubaran ‘World Press Freedom Day 2016’ AJI Yogyakarta, yang secara kronologis dibubarkan oleh ormas yang kenyang dengan nasi bungkus. Bahkan hakul yakin, mereka pun tidak tahu seujung kuku soal apa itu World Press Freedom Day dan hubungannnya dengan komunisme.
World Presss Freedom Day (mohon klik), adalah hari perayaan fundamental kebebasan pers dunia. Jelas? Disitu termasuk menghormati para insan pers yang mendapat tekanan, ancaman bahkan kehilangan nyawa dalam tugas jurnalistik. Siapa penyelenggaranya? Unesco. Siapa Unesco? Lembaga murah hati bentukan Negeri barat yang notabenenya bertentangan dengan komunis. Wahai para pasukan nasi bungkus, apakah setelah penyetelan film "Pulau Buru Tanah Air Beta" lantas para wartawan itu berdiri sambil bersorak "hidup negara komunis!". Gitu? Ayo sana raup dulu, nyeruput kopi sambil ngemil cilok.
Disinilah sangat disayangkan para dedek gemes dan mas berponi tadi belum mampu sedikit bersabar untuk menyimpan kaos, pin ataupun topi palu arit. Okelah, atas nama mode memang apalah kita. Tapi pliss, berpikirlah walau sejenak, tindakan kalian itu hanya membangun paranoia yang amat sangat tidak perlu di negeri ini, ujung-ujungnya kebebasan untuk berdiskusi dan berdialog lintas wawasan akan semakin sempit, marxisme akan dianggap lebay seperti serial The Walking Dead.
Pun demikian untuk bapak menteri pertahanan, simpan pula paranoia-mu, kecuali memang dirimu sengaja menyebarkan virus paranoia komunis ke masyarakat. Tidak semudah itu komunisme tumbuh, percayalah, bahwa menyebarkan virus hantek-aseng dan negara Khilafah masih jauh lebih absolut mengkhawatirkannya, sudah ada benderanya, sudah ada organisasinya. Justru disinilah penulis akan berteriak lantang..hidup NKRI!