[caption caption="Ilustrasi: arsitekidn.com"][/caption]Banyak yang menggembar gemborkan kasus reklamasi lahan Jakarta Utara semenjak M Sanusi ditangkap KPK. Semua dikaitkan dengan politik, hukum hingga perdukunan. Tapi belakangan kok malah banyak yang bertanya, sebetulnya bagaimana sih landscape proyek reklamasi lahan Jakarta? Sip, mari lihat gambar di bawah:
[caption caption="Sumber: indoalpha.com"]
[/caption]Gambar di atas adalah gambar Giant Sea Wall (GSW / Tembok Laut Raksasa), seperti namanya GSW merupakan Mega Project pembangunan tanggul raksasa yang bertujuan untuk membendung Jakarta dari banjir , khususnya di Jakarta Utara hingga 1000 tahun. Di dalamnya ada 17 pulau buatan dengan panjang tak kurang dari 32 km.
Di atas GSW itulah akan terdapat pemukiman, baik rusunawa bagi nelayan ataupun Real Estate, perkantoran dan Mall tentunya.
Sayang nya, alih-alih booming berita masalah pembangungan bendungannya, proyek yang ber-ongkos hingga 300 Trilyun itu malah lebih gencar mempromosikan Real Estate-nya, bukan apa-apa tapi jelas karena pemenang dari proyek ini adalah 7 pengembang properti, dan salah satu yang terbesar adalah Agung Podomoro Land.
Khusus untuk Agung Podomoro sendiri, mereka mendapatkan konsesi penggarapan 3 pulau dengan luas ± 500 Ha. Menurut sumber, Agung Podomoro pertama akan mengembangkan pulau seluas ± 158 Ha dan inilah yang menjadi cikal bakal masalah kasus suap diatas.
Laba yang Menggiurkan
Menurut Presiden Jokowi yang dulu masih menjadi Gubernur, untuk ongkos penggarapan lahan saja sekitar 5 juta per meter persegi. Oke, mari hitung cepat. Dari angka 5 juta/m2 tadi kita kalikan 158 Ha, maka akan didapat angka untuk ongkos pengembangan lahan sebesar 7.9 Trilyun rupiah.
Apabila lahan tersebut dijual dengan harga 25 juta /m2 (minimal) dengan asumsi lahan terjual 60% nya saja dalam waktu 10 tahun, maka uang yang diperoleh Agung Podomoro sebesar 25 juta/m2 x 60% x 158 Ha = 23,7 Trilyun, sehingga keuntungannya bisa menjadi 15.8 Trilyun dalam 10 tahun atau 1.58 Trilyun per tahun minimal (belum perhitungan kenaikan nilai tanah). Itu baru dari satu pulau, tanpa bangunan diatasnya. Cukup besar kan?
Memang keuntungan tersebut belum dipotong biaya CSR, tapi berapa sih biaya CSR? Anggaplah maksimal 3% per tahun, masih sangat menggiurkan bagi pihak yang mau cawe-cawe. Jadi jangan heran jika criminal corporate terjadi dalam proyek ini.
Lalu apa hubungan dengan Bubble Properti?
Daripada panjang x lebar membahas dari isu politik, mari kita bahas dari sisi ekonomi jangka panjang yang berefek langsung bagi kita semua.
Yang utama adalah harga properti yang akan meroket tinggi. Agung Podomoro adalah developer kelas kakap yang bisa dibilang ikut ‘mendikte’ pasaran harga properti di Indonesia, jangan lagi dikatakan bahwa harga properti hanya masalah supply dan demand, ini lebih dari sekedar itu.
Bagaimana cara ‘mendikte’ pasar? Sudah umum terjadi bahwa setiap pengembang menggunakan jurus komparasi harga dengan hunian yang lain sebagai penentuan harga unitnya. Tidak ada patokan tetap yang mengatur harga hunian. Harga bisa naik sewaktu-waktu dengan dalih permintaan meningkat atau inflasi.