Lihat ke Halaman Asli

Bencana dan Tuhan

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ketika bencana besar terjadi di Indonesia seperti yang terjadi di Sleman, MentawaiWasior, dan juga tsunami di Aceh, terlintas di pikiran banyak orang tentang aksi nyata Sang Ilahi. Ke manakah Dia ketika bencana-bencana itu terjadi dan apakah Dia menjadi salah satu relawan? Pemikiran seperti inilah yang sering terlintas pada manusia-manusia entah manusia yang merasakan bencana tersebut ataukah manusia lainnya (berikutnya akan saya sebut liyan) yang tidak merasakannya. Ketika Warga Mentawai mendefinisikan Teteu kabaga sebagai berkah dari kebaikan leluhur, Dia tak pernah disinggung. Tetapi, ketika tetu kabaga itu berubah menjadi sebuah bencana yang mematikan, kehadiran-Nya dipertanyakan.

Siapakah Tuhan

Manusia adalah makhluk yang mempunyai rasa keingintahuan yang sangat besar. Manusia ingin tahu dari mana dia mendapatkan makan, manusia ingin tahu kenapa sebutir beras ini bisa menghidupinya dan masih banyak lagi keingintahuan manusia. Mengutip dari buku Menalar Tuhan karangan Franz Magnis-Suseno, ada dua kenyataan pada manusia yang tampaknya berlawanan dan yang selalu ingin mengetahuinya lebih jauh. Pertama karena dengan tahu manusia dapat bertindak. Ia bertindak karena segala macam alasan, di antaranya yang paling dasar adalah bahwa ia terdorong memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, jadi apa yang dirasakan dibutuhkannya: ya makan dan minum dan lain – lain kebutuhan jasmani, tetapi juga kebutuhan akan manusia lain, dst. Untuk itu ia harus tahu. Misalnya, tahu dari mana ia memperoleh makanan atau di mana ibunya. Tetapi, kedua, yang khas bagi manusia adalah bahwa ia selalu mau tahu lebih jauh. Itu karena sifat manusia yang kedua: manusia berwawasan tak terbatas. Pengetahuan manusia selalu terbatas tetapi wawasannya tak terbatas. Maka tak pernah ada pengetahuan yang dapat memenuhi cakrawala perhatiannya, dan karena itu manusia bertanya terus. Ia terdorong untuk selalu bertanya terus karena ingin mencapai pengetahuan yang lebih benar lagi. Manusia, lain daripada binatang, bahkan ingin tahu demi untuk tahu. Dan karena itu ia juga bertanya tentang Tuhan.

Bersumber dari keingintahuan itulah, para filosof selalu menalar Tuhan. Banyak pemikiran-pemikiran akan Tuhan oleh para filosof ini. Pemikiran filosof tentang Tuhan disebut Filsafat Ketuhanan. Filsafat Ketuhanan ini adalah juga sebuah ilmu. Ilmu yang menalar tentang Tuhan, apa yang berkaitan dengan Tuhan dan disusun secara sistematik dan objektif.

Seiring perjalanan waktu, Filsafat Ketuhanan ini tenggelam karena keingintahuan akan Tuhan sungguh sulit dicapai. Begitu rumit perjalanan keingintahuan akan Tuhan ini. Imannuel Kant (1724-1804) berujar bahwa Tuhan tidak menjadi objek pengetahuan manusia, begitu pula dengan Søren Aabye Kierkegaard (1833-1855), menurutnya konsep “Tuhan” sangat sulit dijabarkan, dan definisi kata “Tuhan” itu hampir tidak mungkin dirumuskan. Karena, menurutnya Tuhan pada dasarnya adalah “Yang Tidak Diketahui” (The Unknown). Jadi nalar tidak mengetahui apapun tentangnya. Sekalipun manusia dapat menalar tentang Tuhan, akan muncul pertanyaan-pertanyaan yang mengekorinya. Pertanyaan itu seperti apa yang diketahui tentang-Nya: tentang eksistensi- Nya, tentang sifat-sifat - Nya, tentang hubungan- Nya dengan manusia dan dunia?

Manusia dan Tuhan

Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.
Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." Berfirmanlah Allah: "Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu.
(Kejadian 1:27-29)

Manusia adalah co–creator (rekan kerja) Tuhan di muka bumi ini. Manusia adalah perpanjangan tangan dari Tuhan. Tuhan menginginkan manusia untuk menjaga dan mengembangkan segala ciptaan-Nya termasuk manusia tersebut. Tetapi apa yang terjadi pada kelakuan manusia. Manusia menjadi serakah dan menjadi makhluk yang sudah tak terkendali lagi. Manusia yang menganggap dirinya penakluk alam merasa berkuasa atas alam sehingga dengan semena-mena merusak alam begitu saja. Manusia merusak dengan bebas, manusia memerkosa alam. Manusia menghancurkan dan sekalgius memeras alam. Inilah akibat dari pandangan modern yang disertai kemajuan alam yang pesat. Manusia sudah merasa seperti raja.

Mengutip tulisan Karlina Supelli dalam Rangkaian Studium Generale tentang pendapat Jean Jacques Rousseau ( 1712-1778). Rousseau mengirimkan surat kepada Voltaire, 18 Agustus 1756. Setelah gempa bumi dan tsunami dan kebakaran yang menghancurkan kota Lisbon, Portugal, Voltaire menulis sebuah sajak (1755). Ia menggugat doktrin teologi Gottfried Wilhem Leibniz (1646-1716) yang populer di masa itu, ialah bahwa Tuhan menciptakan bagi manusia dunia terbaik dari yang mungkin ada. Voltaire mengolok-olok para filsuf dan teolog pengikut Leibniz. Dalam suratnya Jean Jacques Rousseau mengatakan bahwa penyebab bencana Lisbon harus ditimpakan kepada manusia yang telah menjadi rakus. “Bukan alam yang membangun dua puluh enam ribu rumah yang bertingkat-tingkat”. Bencana itu tidak akan memakan korban begitu banyak seandainya penduduk kota tidak berjejal-jejal membangun rumah, dan seandainya mereka segera menyingkir begitu getaran pertama terasa, bukannya malah panik menyelamatkan barang-barang milik mereka.

Dalam kata sederhana, Rousseau ingin menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang sungguh rakus demi kepentingan pribadinya. Menindas alam semena-mena. Alam tak pernah mau ditindas. Alam dan manusia menjaga kesimbangan antara mereka. Jika salah satu menginginkan kelebihan dengan cara yang tak “sopan” maka salah satunya akan menegur. Alam menegur manusia dengan tidak melihat siapapun manusia itu. Maka manusia yang tak tahu apapun, yang bisa kita katakan sebagai manusia yang baik itu akan terkena juga dampaknya.

Ada dua hal yang saya mau katakan. Pertama, Tuhan menciptakan manusia dan tak ingin membatasi kebebasannya. Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia, bahkan sampai pada kebebasan untuk merusak dirinya sendiri. Manusia diberikan akal budi untuk berpikir secara cerdas. Dengan akal budi itu dia mampu bertanggung jawab atas perbuatannya. Kedua, bahwa banyak manusia yang tidak bersalah terkena akibatnya adalah karena kebebasan yang disalahgunakan oleh liyan. Liyan bisa saja mencuri dan merusak yang pada akhirnya dapat merugikan manusia yang tak bersalah. Menjawab pertanyaan “kemanakah Sang Ilahi saat terjadi bencana?” Jawaban saya adalah Tuhan tidak akan ke mana-mana. Tuhan selalu ada disekitar kita. Tuhan tidak bisa langsung ikut campur dalam masalah kita ini karena semua tanggung jawab telah diberikan kepada manusia.

Sebagai manusia, kita seharusnya merubah sikap kita dan meminta maaf kepada alam. Janganlah kita hanya terdiam dan mulai menyalahkan Tuhan. Kita mulai mencari berbagai macam alasan untuk menyalahkan Tuhan. Kita haru ingat bahwa kuasa Tuhan takkan mungkin pernah ditebak dengan alasan-alasan yang kita cari. Kuasa Tuhan sulit ditebak. Tuhan adalah “Yang Tidak Diketahui”.

Maryo Anugerah Sarong

Mahasiswa Fakultas Komunikasi Jurusan Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline