Papua adalah salah satu pulau terbesar di Indonesia yang terdiri dari 2 provinsi, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Dua provinsi tersebut memiliki status Otonomi Khusus (OTSUS) seperti yang dimiliki oleh Provinsi Yogyakarta dan Aceh, yang berarti mereka dapat membuat peraturan mereka sendiri yang berbeda dari provinsi lainnya. Papua identik dengan hukum adat atau kebiasaan yang masih sangat kental di kehidupan sehari-hari masyarakat setempatnya. Walaupun masyarakat yang tinggal di kota-kota besar seperti Jayapura atau Sorong sudah mulai menerapkan pola hidup modern dan meninggalkan hukum adat khas Papua, masyarakat yang tinggal di pedalaman hutan Papua atau suku-suku native Papua, serta masyarakat pedesaan / perkampungan masih menjunjung tinggi hukum adatnya. Hal itu bisa dilihat dari masih berlakunya hukum adat yang unik antara setiap suku-suku yang ada di pedalaman hutan Papua.
Salah satu hukum adat yang masih berlaku di tanah Papua adalah Iki Palek, yaitu tradisi potong jari oleh seseorang dari suku Dani sebagai tanda kesetiaan dan kehilangan salah satu anggota keluarganya. Jari yang dipotong menunjukkan berapa banyak anggota keluarga yang telah meninggalkan mereka. Mayoritas warga yang melakukan ritual ini adalah wanita, namun ada juga beberapa pria yang melakukan hal yang sama sebagai bentuk penghormatan terakhir ke anggota keluarga yang telah pergi terlebih dahulu.
Alasan lain mengapa mereka melakukan hal ini adalah menurut suku Dani, menangis saja tidak cukup untuk meluapkan kesedihan, rasa sakit dari dipotongnya jari dianggap mewakili jiwa & raga yang tercabik-cabik akibat ditinggalkan orang tercintanya. Selain itu, jari dianggap sebagai simbol harmoni, persatuan, dan kekuatan. Bagian tubuh tersebut juga menjadi lambang hidup bersama sebagai satu keluarga, satu marga, satu rumah, satu suku, satu nenek moyang, satu bahasa, satu sejarah dan satu asal. Dalam bahasa Papua, itu disebut dengan "Wene opakima dapulik welaikarek mekehasik”.
Hukum adat lain yang masih berlaku di tanah Papua adalah hukum adat dari suku Enggros Tobati. Hukum tersebut adalah salah satu hukum adat yang mengatur masyarakat Enggros Tobati sejak pertama kali terbentuk. Tobati dan Enggros adalah nama dua kampung yang terletak di Teluk Youtefa, Kota Jayapura. Letak geografis Kampung Tobati berada di Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura, sedangkan letak Kampung Enggros termasuk dalam wilayah Administratif Distrik Abepura, Kota Jayapura. Sistem kepemimpinan adat yang terdapat di Kampung Enggros Tobati terdiri dari pimpinan adat / kepala suku (Charsori) yang jabatan kepemimpinannya diperoleh melalui keturunan, mirip dengan sistem pemerintahan monarki, yang bersifat senioritas baik dilihat dari urutan kelahiran (hak kesulungan) maupun klan berdasarkan garis keturunan ayah / patrilineal dan diwariskan secara turun-temurun.
Segala hal yang menyangkut aktivitas kehidupan masyarakat setempat mengenai aturan-aturan, nilai-nilai, serta sengketa yang terjadi antarsesama masyarakat diselesaikan dan diputuskan oleh Charsori dan Har-hbur. Peran yang dipegang oleh Charsori dan Har-hbur sangat penting dalam memutuskan, menentukan, dan memberikan hukuman yang pantas pada setiap aktivitas maupun program pembangunan yang dijalankan masyarakat adatnya.
Seperti halnya hukum nasional, hukum adat Enggros Tobati mengenal ketentuan seperti asas personalitas, artinya hukum pidana dikaitkan dengan orangnya, tanpa mempermasalahkan di mana orang itu berada, hukum pidana selalu melekat pada setiap orang. Pada prinsipnya, hukum adat Enggros Tobati juga mengenal asas teritorial. Mirip dengan hukum nasional yang ada, dalam hukum pidana adat Enggros Tobati dibedakan berat hukumannya sesuai dengan tindak kejahatan si pelaku. Artinya jika pelaku (dader), penyuruh (doenpleger), turut serta melakukan (mededader/medepleger), pembujuk (uitlokker), dan pembantu (medeplichtige) dibedakan dalam hal berat hukumannya.
Pelaku tindak pidana kriminal yang masih dibawah umur dipertimbangkan untuk tidak dipidana, umumnya mereka dikembalikan ke orang tuanya kecuali jika orang tuanya menyerah atau tidak sanggup untuk mendidik anak tersebut maka akan ditindak pidana sesuai hukum adat Enggros Tobati. Hal tersebut juga berlaku pada pelaku yang memiliki gangguan kejiwaan / mentall illness. Hal yang perlu digarisbawahi dari kedua hal tersebut adalah perbuatan mereka tetap merupakan tindakan kriminal dan menyalahi aturan, namun terdapat alasan istimewa yang menyebabkan pelaku tidak dipidana.
Hukum adat lain yang masih eksis di Papua adalah membayar denda jika ada seseorang yang menghilangkan nyawa seekor babi atau anjing secara sengaja maupun tidak sengaja. Hal itu dikarenakan dalam adat masyarakat Papua, anjing dan babi merupakan hewan yang sangat berharga. Denda yang dibayarkan juga bisa sampai puluhan hingga ratusan juta rupiah untuk seekor babi atau anjing yang mati.
Dalam era globalisasi ini hukum adat di Papua sangat tergantung pada masyarakatnya yang pluralistis mempertahankan nilai-nilai budaya dan norma-norma adat ideal dan prosedural guna menyeleksi nilai-nilai dan norma-norma asing akibat arus globalisasi. Padahal, kita tahu bahwa mayoritas hukum adat yang berlaku itu sangat tidak adil bagi salah satu pihak yang terlibat, entah itu sang pelaku maupun korban. Denda yang dibayarkan korban ke pelaku juga sering sangatlah tinggi sampai ke tahap tidak masuk akal, berbeda jika kasus yang sama dibawa ke pengadilan negeri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H