Lihat ke Halaman Asli

Dona Mariani

Seorang pelajar SMA Negeri 3 Brebes yang sedang mencari jati dirinya saat ini

Kejutan Berarti

Diperbarui: 15 Desember 2024   17:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sumber Gambar : Pinterest)

Di siang yang cerah ini, jadwalku pergi ke psikiater langganan. Setelah mengalami depresiasi berkepanjangan dan nyaris bunuh diri, serta mumpung aku punya uang hasil gaji kemarin. "Hai, Cindy! Mau ke mana?" Seorang tetangga menyapaku dengan riang begitu kami berpapasan di tengah koridor.

"Hai juga, Nona Fatimah! Aku mau ke psikiater sekarang," terangku dengan ramah. "Kalau Anda?" tanyaku kemudian.

"Aku mau pergi ke rumah saudaraku di Kazakhstan. Kamu mau oleh-oleh apa? Biar aku belikan untukmu." Bahkan dia repot-repot menawarkan barang tangan untukku.

Tapi, karena aku tidak merasa enak hati atas segala kebaikan Nona Fatimah kepadaku akhir-akhir ini dan takut merepotkan, aku pun menjawab, "Terima kasih banyak, Nona. Tapi, tidak usah. Selamat berlibur ke sana!," seraya menolak dengan sopan.

 

Wanita anggun dengan tutur kata halus dan berpakaian tertutu serta sopan itu hanya tersenyum pasrah mendengar penolakanku. Setelah itu, kami saling berpamitan untuk mengurusi kepentingan masing-masing. Aku mengecek kembali barang bawaanku di tas jinjing, memerbaiki posisi hijabku agar enak dipandang, baru kulangkahkan kaki menyusuri trotoar yang sebagian ditutupi oleh dedaunan berwarna kecoklatan yang berguguran indah. Udaranya juga terasa menyejukkan hati yang sudah lama gundah karena memendam semuanya sendirian.

Dengan tergopoh-gopoh, aku menjejaki setiap inchi trotoar yang tergenang air hujan semalam sekaligus dedaunan musim gugur. Melewati beberapa pertokoan yang telah menjual ornamen khas natal, aku jadi teringat bahwa bulan depan adalah Desember. Sialnya, aku belum membeli dekorasi natal untuk bulan depan padahal tidak lama lagi hari yang penuh suka cita itu datang. Tetapi, setelah aku pikir-pikir lagi, buat apa coba? Lagipula selama ini aku selalu merayakan natal seorang diri, hanya aku dan televisi penayangan khusus natal menjadi teman sejatiku. Aku pernah punya hewan peliharaan, namun mereka selalu meninggalkanku setiap kali aku membutuhkan mereka. Selain itu, aku sudah menjadi seorang mualaf.

Di tengah perjalanan, aku membantu seorang nenek tua yang kesulitan untuk menyeberang jalan. Karena searah, kami berdua memutuskan untuk berjalan berdampingan seraya berbincang santai. "Kalau kamu menginginkan pelangi, maka kamu harus menerima hujan, anak muda. Mungkin kamu tidak menginginkan masalah dalam hidupmu, namun justru masalah-lah yang telah menempa dirimu sampai saat ini. Percayalah, pemandangan indah sudah menanti di depan mata bagi yang bertahan," ucap sang nenek sebelum menghilang di tikungan gang kecil.

Aku memandangi sang nenek dalam diam. "Entahlah, Nek. Aku belum bisa melihat atau pemandangan indah yang engkau bilang," gumamku nyaris tidak bersuara.

Aku kembali berjalan, dengan perasaan hampa. Sudah lama aku tidak melewati kawasan ini. Aku pun mematung ketika telah sampai di kediaman psikiaterku itu tinggal. Rumah sederhana yang di sekelilingnya penuh dengan tanaman hias yang cantik dan memberikan kesan teduh yanng dipagari oleh pagar kayu pendek. Mataku mendelik tidak percaya, napasku menderu. Berusaha menenangkan diriku sendiri sambil mengusap-usap kedua tangan yang bergetar. Hampir saja aku menitikkan air mata. Memori lama yang sempat terlupakan, kini berputar kembali di otak seperti kaset rusak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline