Sekolah Menengah Atas atau sering dikenal dengan sebutan SMA adalah jenjang pendidikan setelah menamatkan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Di jenjang ini, para murid akan menempuh waktu pendidikan selama 3 tahun, yaitu kelas 10, 11 dan 12. Tujuan SMA sendiri adalah siswa memperoleh bekal pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk melanjutkan program belajar yang lebih tinggi yakni jenjang perguruan tinggi atau kuliah serta berkecimpung di dunia kerja. Terdapat tiga kurikulum yang tersedia, yakni bidang IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) yang fokus mempelajari mata pelajaran sains seperti Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi; bidang IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) lebih fokus pada mata pelajaran sosial seperti Sejarah, Geografi, Ekonomi, dan Sosiologi; sedangkan bidang Bahasa lebih fokus pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Bahasa asing lainnya.
Dilansir dari DataIndonesia.id, Kemdikbud Ristek melaporkan jumlah murid di Indonesia sebanyak 53, 14 juta orang pada semester ganjil tahun ajaran 2023/2024. Lalu, dalam data tersebut dicantumkan sebanyak 5,32 juta murid di Indonesia yang mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA). Masih lebih sedikit daripada jumlah murid yang mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD), yakni 24,04 juta orang.
Alasan saya memilih masuk SMA adalah lebih memfokuskan diri dalam menggeluti ilmu pengetahuan berupa teori daripada melangsungkan praktek. Karena SMA memang diprogram untuk lebih fokus di bidang teori ketimbang praktek. Namun, setelah memasuki masa abu-putih ini, saya mulai menyadari bahwa bergelut di satu hal saja, dalam hal ini teori, tidaklah cukup. Kenapa saya bilang demikian? Karena ibarat kata kita belajar di sekolah dan tempat praktek nyatanya saat terjun di dunia masyarakat. Hal ini bisa menyebabkan sebagian orang belum siap untuk mempraktekan ilmu langsung yang bersifat teori di dalam masyarakat. Selain itu, hanya presentase sekian persen mata pelajaran yang diajarkan di jenjang SMA yang nantinya akan berguna di masyarakat seperti matematika, geografi dan sosiologi.
Kemudian, kendala lain para pelajar Indonesia yakni waktu pembelajaran tatap muka yang terkadang menyita banyak waktu dirasa belum cukup efektif bagi sebagian pelajar. Banyak siswa yang berkeluh kesah dengan jam pembelajaran yang terlalu lama. Dilansir dari Kompas.com.id, siswa-siswi di Indonesia rata-rata mulai belajar dari 07.00-07.30 hingga kurang lebih 13.00-14.00. Waktu pembelajaran ini masih terkadang ditambah dengan les, jam tambahan, atau ekstrakurikuler dengan setiap sekolah di masing-masing daerah yang mempunyai pengaturan waktu yang sudah ditentukan.
Sebuah studi menyebutkan jika otak manusia dapat menerima materi baru dalam dua sesi waktu yaitu jam 10.00-14.00 dan 16.00-22.00. Sementara waktu terburuk untuk belajar adalah 16.00 hingga 19.00. Berdasarkan penelitian tersebut, seorang anak idealnya belajar selama 4 jam di pagi hari dan 6 jam setelah pulang sekolah. Namun, nyatanya banyak sekolah yang menerapkan sistem melebihi batas waktu tersebut. Durasi jam sekolah yang lebih lama namun kualitas pendidikan masih rendah, berbanding terbalik dengan negara Jepang dan Korea Selatan yang sudah lebih maju di dunia pendidikan.
Selain itu, hal yang memprihatinkan menurut saya adalah sebagian para pelajar belum menemukan cara efektif belajar yang ampuh sehingga tidak semua materi dapat diterima oleh otak. Dengan mementingkan hafalan daripada memahami isi dari konsep yang ada dan mendalami materi tersebut, menjadi salah satu faktor seorang murid tidak akan bisa memahami materi yang sedang diajarkan oleh guru di depan kelas. Ditambah banyak stereotip negatif terhadap pelajaran tertentu misalnya pelajaran matematika atau fisika, tentu dapat menurunkan motivasi para murid untuk mempelajari lebih dalam mengenai mata pelajaran tersebut yang seharusnya dapat menjadi bekal di kemudian hari.
Lalu, faktor lainnya adalah para pelajar yang menggunakan cara instan, istilahnya, dengan mencontek kepada teman atau sumber internet yang banyak berseliweran, membuat para pelajar kurang kritis dalam memanfaatkan kapasitas otak mereka. Hal ini disebabkan adanya akibat jalur zonasi ketika masuk di SMA negeri. Mengakibatkan banyak siswa merasa tenang (dalam hal ini meremehkan) dan tidak terdorong untuk lebih giat lagi dalam hal belajar agar bisa diterima di sekolah impian. Dikutip dari blog pijarsekolah.id, sistem zonasi sekolah adalah suatu sistem yang digunakan oleh pemerintah dalam mengatur penempatan siswa ke sekolah yang terdekat dengan tempat tinggal mereka. Tujuan utama dari sistem zonasi atau yang juga dikenal dengan istilah zonasi sekolah ialah memastikan akses yang adil dan merata bagi semua siswa ke lembaga pendidikan di wilayah tersebut.
Sistem zonasi pada dasarnya sudah tertulis dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 51 tahun 2018. Melansir dari website Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sistem zonasi merupakan bentuk penyesuaian kebijakan dari sistem rayonisasi. Rayonisasi lebih memperhatikan pada capaian siswa di bidang akademik, sementara zonasi lebih menekankan pada jarak/radius antara rumah siswa dengan sekolah. Dengan demikian, siswa yang lebih dekat dengan sekolah lebih berhak mendapatkan layanan pendidikan dari sekolah itu. Sosok pencetus dari sistem zonasi di Tanah Air adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Muhadjir Effendy. Saat menggantikan Anies Baswedan sebagai Mendikbud, Muhadjir mengeluarkan kebijakan baru PPDB berbasis zonasi. Hal ini dilakukan untuk mempercepat pemerataan mutu pendidikan di Indonesia. Selain itu, kebijakan ini diharapkan mampu menghapus diskriminasi layanan pendidikan yang selama ini terjadi.
Selain membuat kebijakan sistem zonasi pada PPDB, Muhadjir Effendy melakukan berbagai kebijakan lain selama masa jabatannya, mulai dari revitalisasi pendidikan vokasi, percepatan distribusi Kartu Indonesia Pintar (KIP), pelatihan guru secara berkelompok melalui Kelompok Kerja Guru (KKG) mata pelajaran, penyediaan kuota guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan pembentukan Dana Alokasi Umum (DAU) untuk menyelesaikan solusi gaji guru honorer. Banyak pro dan kontra terkait sistem zonasi ini. Ada yang merasa diuntungkan karena termasuk dalam kategori zonasi tersebut, namun ada juga yang merasa kurang diuntungkan karena tidak termasuk di wilayah yang dizonasikan, sehingga banyak yang kurang puas terhadap kebijakan ini.
Kemudian, masalah anggaran pendidikan atau bisa juga disebut sebagai BOS (Biaya Operasional Sekolah). Alokasi anggaran pendidikan yang tidak merata menjadi salah satu masalah di dunia pendidikan di tanah air. Dilansir dari situs itb.ac.id, anggaran pendidikan adalah alokasi anggaran melalui kementerian negara/lembaga dan nonkementerian negara/lembaga, alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah, dan alokasi anggaran pendidikan melalui pengeluaran pembiayaan, termasuk gaji pendidik. Hal ini dilakukan untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan yang menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan. Namun, faktanya pendidikan tinggi di Indonesia jauh tertinggal dalam segi anggaran. Ketua FGB ITB Prof. Edy menyampaikan data statistik, pengeluaran pemerintah Indonesia untuk pendidikan tinggi sebesar 0,3% dari APBN pada tahun 2019. Sedangkan menurut rekomendasi UNESCO, anggaran pendidikan tinggi minimalnya 2% dari APBN.
Hal ini didukung oleh Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah yang mengatakan anggaran pendidikan nasional sekitar 20% dari APBN dan APBD. APBN Indonesia tahun 2023 yakni 3000 triliun rupiah. Sehingga, anggaran pendidikan nasional yakni 612,2 triliun rupiah dan 305 triliun rupiah di antaranya ditransfer ke daerah dan dana desa.