Lihat ke Halaman Asli

Korelasi Mahasiswa Kelas Menengah, Hedonisme dan Lahan Parkir (Bag. 2)

Diperbarui: 20 Juni 2015   04:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagai mahasiswa kelas menengah yang hidup di ibukota,sudah bukan rahasia lagi jika fenomena lahan parkir menjadi sebuah isu krusial. Terlebih lagi, lahan parkir dalam konteks kekinian telah menjadi sebuah unsur penyambung hidup. Ormas-ormas yang menamakan dirinya merepresentasikan suku tertentu mati-matian mempertahankan 'wilayah kekuasaannya'. Tidak jarang sering kali terjadi bentrok untuk memperebutkan lahan parkir. Hasil dari multiplier effect penghasilan lahan parkir sanggup untuk menghidupi keluarga. Sebagai mahasiswa yang masih idealis dan belum merasakan pahit getir kehidupan diluar sana, saya masih menganggap bahwa lahan parkir adalah sektor yang sangat potensial untuk dieksploitasi oleh pemerintah. Permasalahannya adalah jika lahan-lahan parkir diambil alih oleh pemerintah sepenuhnya, maka ormas-ormas yang secara de facto menjadi 'pengelola' ini harus dikemanakan?

Tentu saja saya tidak menganggap bahwa ormas kerjaannya hanya menjaga lahan parkir 'daerah kekuasaan'-nya, akan tetapi yang saya ingin lihat adalah lagi-lagi substansi dari keberadaan ormas yang mengatasnamakan suku tertentu. Suku-suku yang baik berasal dari dalam dan luar DKI berkumpul di ibukota demi mendapatkan penghasilan yang (katanya) lebih besar dibandingkan penghasilan di daerah mereka. Saya setuju jika pangkal masalah ini adalah mengenai pemerataan kesejahteraan. Saya belum mengerti betapa kompleksnya mengatur sistem yang sudah sekian lama berlaku. Sebagai mahasiswa yang sekaligus agak hedonis dan memiliki budget terbatas, saya hanya menginginkan keamanan dan kemurahan dari apa yang saya inginkan, termasuk parkiran yang murah. Ide-ide yang sudah saya jelaskan di bagian pertama sudah banyak saya aplikasikan. Peran negara,menurut saya, akan sangat krusial dalam mengelola konflik yang seakan-akan sepele akan tetapi berkesinambungan. Karena itulah saya mendukung penuh Pak Ahok dalam mengelola parkir di Jakarta. Beberapa mengatakan hal-hal negatif tentang beliau jika benar-benar menjadi Gubernur Jakarta. Tidak sedikit yang mengatakan masalah agama menjadi faktor utama kritik terhadapnya. Di KTP, agama saya berbeda dengan Pak Ahok, akan tetapi itu sama sekali bukanlah masalah. Memang masih banyak orang berpikiran sempit di sekitar kita, dan untuk mengubahnya perlulah proses. Untuk saat ini, saya hanya bisa memberikan dukungan moral untuk beliau. Apapun yang terjadi nanti, sebagai mahasiswa yang masih idealis dan suka membaca The Economist sambil nongkrong di D'Journals dan melihat-lihat Massimo Dutti, dukungan saya untuk membuat Jakarta terlihat lebih lovely dan adorable akan terus ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline