Lihat ke Halaman Asli

Ketiadaan Figur Ayah adalah 'Kutukan' (Fatherless Is a Curse)

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Malam terakhir tahun lalu, seperti biasa acara kumpul bareng sodara2. Kakak-adik-ipar-keponakan maunya sih ngumpul aja ngobrol-ngobrol sambil makan kacang (abis ga mampu old & new di hotel berbintang sih..hkhkhk)

Karena kurang perencanaan, akhirnya acara cuma dihadiri beberapa gelintir aja..:-(

Walaupun kurang meriah, tapi ada beberapa hal yang menarik untuk dicatat dari obrolan ngalor-ngidul nungguin jam 00.00.

Seorang kakak ipar saya mengeluh bahwa suaminya (kakak q tentunya;-0) sangat kurang meluangkan waktu untuk anak-anak mereka yg masih kecil. Pd beberapa kesempatan bahkan anak mrk takut utk sekedar menyampaikan isi hatinya pd sang ayah. Perbedaan pendapat antar pasangan pun sering berlarut-larut karena kurang komunikasi yang sehat...Akibatnya anak2 lebih banyak mengenal hidup ini dari kacamata ibunya saja (ga imbang khan jadinya)

Atau melihat kehidupan salah satu kakak cewek q juga terasa sangat menyesakkan dada..(hehehe jgn heran yah, kakakku ada 9 org jd banyak yg bisa diceritain). Suaminya sangat temperamental, hal kecil aja bisa bikin dia meledak. Waktu anak2nya kecil, mereka tidak berani mengeluarkan suara keras kalau si ayah sedang tidur siang misalnya, karena kalau si ayah merasa terganggu bisa berarti bencana..dan status berubah menjadi SIAGA I (wkwkwk..).

Belum lagi kalau si suami pulang dan rumah terasa panas, pasti si istri disalahkan karena memasak terlalu sore, jadi sisa panas dari dapur bikin udara gerah..waduh..gawat banget khan?? (Udah spt cerita di Oh Mama Oh Papa aja yahh??) Akibatnya si istri tertekan dan anak2pun tumbuh dengan banyak luka di batin mereka...(whuih kasian banget yah keponakan2ku itu...)  Tetapi bila masalah datang (termasuk masalah anak2) si istrilah yang harus susah payah mengatasi, karena bila si suami tau, bisa2 bkn masalahnya selesai tapi makin runyam karena belum2 sdh marah dulu...(sekali lagi istri dituntut untuk berfungsi ganda..)

Untuk mengatasi keadaan itu, dalam kondisi komunikasi yg payah, satu2nya jalan yg para istri pilih adalah menekan perasaan, seringkali juga menekan anak2 agar 'tidak bikin masalah', bertahan sekuat tenaga..walaupun kita tahu perasaan yg ditekan terlalu lama itu ga sehat, dan siap meledak sewaktu-waktu.

Mendengar curhatan mereka, aq jadi bertanya-tanya kenapa para ayah bisa bersikap dan berbuat seperti itu?  Ditambah dengan pengalaman aq sendiri dengan kedua ortu, aq mengambil kesimpulan bahwa  "Ketiadaan Figur Ayah adalah 'kutukan'"

Kenapa begitu? Karena seorang ayah adalah 'sumber'. Terang-gelapnya sebuah keluarga ditentukan oleh sang sumber tsb. Itulah sebabnya seorang suami dan ayah sejak awal di design dan diberi tugas untuk menjadi seorang Kepala Keluarga.

Sayangnya design awal untuk para ayah tersebut telah dirusak sehingga para ayah tidak bisa lagi bersikap sebagai ayah yang sejati. Mereka bukannya tidak bisa memilki keturunan, karena nyatanya mereka sukses membuahi para istri dan memiliki anak2, tapi sayangnya mereka gagal berperan sebagai ayah yang sesungguhnya.

Untuk kasus2 di atas, aq melihat mereka para ayah juga adalah para ayah yang perlu dikasihani (walaupun merka kdg tidak sadar). Kenapa?  karena merekapun tidak punya figur ayah yang bisa mengajari mereka bagaimana menjadi ayah..

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline