Lihat ke Halaman Asli

Beragama dengan Santai

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ramadhan itu bulan terhormat tanpa harus minta-minta dihormati. Berpuasa itu tindakan terhormat tanpa perlu minta minta dihormati.

Dalam setiap memasuki dan menjalankan ibadah ramadhan ramai-ramai negara menggelar razia. Bahkan sebuah ormas islam menggelar razia dengan perusakan-perusakan tempat hiburan.Saya tak bisa membayangkan, kapan kehidupan beragama tidak dilumuri dengan pemahaman yang sempit. Kapan keberagamaan tidak dikotori dengan kekerasan. Kapan tolerasi dan kekhusukan dalam beragama tidak harus dengan minta-minta. Era tahun 2000an, bangsa ini mulai mengenali bom sebagai alat teror,digunakan kelompok tertentu atas nama agama. Alasan mensucikan agama, menegakkan ajaran tuhan. Hingga agama menjadi legitimasi kekerasan.

Semua yang dilakukan didunia hanya karena tafsir manusia. sementara manusia adalah gudangnya kesalahan dan kekeliruan. Jadi tak perlulah klaim kebenaran manusia ditegak-tinggikan, atau dimutlakkan dan menganggap yang lain salah. Tuhan bisa saja berubah-ubah sikap dan kemauannya setiap waktu. Tidak ada yang bisa memprotesnya atau menghalangi, menggagalkan keinginannya. Karena Tuhan punya prerogative yang semutlak-mutlaknya. Tak perlu ngotot untuk masuk surga dengan membabi buta membelanya, apalagi melalui laku kekerasan. Tuhan juga tidak membutuhkan pembelaan manusia. Jika seisi alam tidak menyembah tuhanpun, tuhan tak akan menjadi kecil. Bukankah Tuhan berkata, “Jika engkau ingin membelaku, perlakukan, belalah, kaum papa, anak-anak yatim itu, merekalah wakilku di bumi”.

Inilah tugas para agamawan, intelektual yang sadar dengan kemanusiaan, budayawan, mendorong agama sebagai pandangan kemanusiaan. Semestinya mereka mendorong agar agama diamalkan dengan jalan damai.Juga bagi para penulis, terutama buku-buku agama, mesti segera bertanggungjawab dengan buku-buku hasil pikirnya. Sudah semestinya ada telaah baru tentang buku-buku agama yang sudah ada. Jangan sampai kalah cepat dengan doktrin-doktrin agama yang mengagungkan kekerasan dan pengeboman, pembunuhan atas nama agama. Para cendekiawan lulusan kajian antar budaya dan agama, mesti memulai merumuskan tindakan social yang lebih cerah. Tidak saling serang sendiri dengan pandangannya. Saya kira harus lebih banyak tulisan-tulisan yang mencerahkan. Yang bergerak dalam level kesadaran tentang kemanusiaan dan kebersamaan.

Keberagamaan kita yang santai dan santun akan lebih indah untuk menjadi ciri kehidupan kebangsaan. Denganalur demikian saya kira deradikalisasi akan menemui jalan yang susah berkembang di negeriini. Dan kemajemukan bangsa tak sampai terampas oleh ideologi luar yangingin menjatuhkan dengan jalan kekerasan dan teror. Sebagai anak semua bangsa patut kiranya laku revolusi spritual, agar agama tidak menjadi pakaian semata. Tetapi merasuk menjadi spiritualitas dalam diri manusia. Berapa banyak agama telah menjadi alat manusia untuk mencapai tujuannya? Sangat banyak. Bahkan berlindung dari tameng agama untuk berbuat yang berada di batas agama.

Dalam kata lain agama adalaah jiwa dan makna social dalam diri manusia itu sendiri. Memaknainya seperti memaknai hidup.Agama, selalu bisa kita onceki dari berbagai sudut pandang. Bukan hanya sebagai teks, tetapi sebagai kesalehan sosial. Sebagai kesolehan social , perilaku manusia pada manusia lain menjadikan dirinya menjadi bermakna. Menjadikan diri sebagai bagian utuh dalam masyarakat, menyejukkan lingkungannya, menumbukan kesadaran yang selaras dengan alam.

Tetapi beragama butuh kesalehan aktual, sebab waktu itu tidak beku. Ia bergerak, zigzak, spiral, sesuai keinginan tuhannya. Manusia beragama harus menangkap kesolehan aktual dalam agama seiring dengan peradaban terus bergrak, dan kebudayaan yang melaju. Kalau berhenti pada pola lama, tak akan mendapatkan kesalehan aktual itu.Butuh kearifan untuk soleh secara sosial. Butuh kecerdasan untuk saleh secara aktual. Butuh kegelisahan untuk saleh keduanya. Kanjeng nabi Muhammad, Isa putra mariam, Budha Gautama, mengalami itu semua. Meraka meramunya menjadi sekian deras kenyataan actual dalam alam hidup. Kurang apa mereka semua memahami kesalehan aktualnya. Bahkan mereka melampaui keaktualan. Mereka saleh secara futuris.

Kesalehan aktual akan menjadikan manusia mampu memahami agama seperti halnya kesadaran dalam hidup.Bukankah Tuhan mengajarkan waktu kepada manusia agar manusia, mempelajari keadaan bahwa manusia berada dalam lingkup sejarah, kesekarangan, dan kelak suatu nanti yang akan datang. Maka sesungguhnya kesalehan itu harus bulat dalam waktu, kesejarahan, kesekarangan, dan sesuatu yang kelak datang. Yang hanya selalu memandang kebelakang, sejarah, dan keduluan yang amat lampau, akan kaku dan tidak bergerak kepada kesalehan yang utuh. Keutuhan itu yang hendak dilihat tuhan dari kapasitas manusia yang diijinkan di kampung bumi ini. Kalau demikian bukankah agama harus berdialog dengan kebudayaan, dengan peradaban, dan waktu. Agama perlu di tafsir lebih leluasa.

Alangkah baiknya tidak menjadikan agama sebagai (hanya) pengetahuan semata. Sebab yang mengetahuidikalahkan oleh yang menyukai dan yang menyukai dikalahkan oleh yang menghayati. Karena keagamaan itu adalah privasi sekaligus sosial. Manusia dibekali kemampuan agar tidak kemrungsung soal hati, juga agar tidak berpikir pendek soal ayat-ayat Tuhan, lalu mengira Tuhan hanya sebatas kata-kata dan sedarit ayat. Perlu kesadaran yang cerdas untuk beragama dengan santai. Mereka semua telah melampaui sejarah yang panjang dalam kehidupan keagamannya. Umumnya mereka kenyang dengan ajaran-ajaran tentang dogma, tentang kitab-kitab kuning, tentang sejarah keagamaan yangmasa lalu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline