Lihat ke Halaman Asli

Nazar Sebagai (Ilmu) Pengetahuan

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Namanya Suta, waktu remaja ia berkeinginan keras dalam hatinya, lalu bernazar kepada Allah:" Ya Allah Jika sekiranya Engkau mengabulkan permohonan hamba, Hamba ingin bisa kuliah di Universitas Indonesia, kelak. Jika engkau mengabulkannya,ya Allah, hamba akan mengurusi masjidmu dengan senang hati"

Nazar itu ia ucapkan saat umurnya masih 16 tahun, ketika ia masih duduk di bangku SMA.Lalu ia belajar dengan keras. Dan berpikir bagaimana caranya agar masuk UI tanpa tes. Selain buku-buku diktat di bangku sekolah, ia lahab buku-buku umum. Sebelum berangkat sekolah ia mengantarkan koran-koran untuk pelanggannya.Pulang sekolah ia jualan koran sore. Ia ingat betul kata-katanya itu, dan ingin menemui kata-katanya itu kelak. Benar, Allah mendengar doa dan usaha keras Suta. Kini selama 4 tahun ini, ia menjadi takmir masjid di seputaran Depok tanpa dibayar. Bersama beberapa temannya ia telah merintis sebuah usaha.

Kami bertemu saat menunggu kereta kota menuju Jakarta. Beberapa hari sebelum ia yudisium dari fakultas ekonomi. Wajahnya yang berseri-seri menyiratkan sikap optimisnya terhadap hidup yang akan diarunginya setelah lulus kuliah. Sayatak sempat bertanya apakah ia sudah membuat nazar untuk masa depannya yang lain.

Tepat seperti itulah, barangkali, semestinya kita memaknai sebuah nazar. Membangun kesadaran kita untuk menggunakan "perangkat-perangkat" agama melapisi titian perjalan hidup manusia. Kesadaran itu membangun optimisme, merancang masa depan yang sejatinya tidak pasti. Nazar adalah bagian dari cara merayu Allah untuk memastikan masa depan seperti apa yang kita harapkan kepadaNya. Sebab hanya di tangannya segala kepastian.

Nazarsebagai kesadaran membukakan pandangan kita selama ini tentang konsep yangmengurat dalam masyarakat kita yang saya sebut sebagai "nazar keceplosan", yang cenderung menjadi taruhan terhadap diri sendiri. Nazar sebagai kesadaran membalikkan "nazar keceplosan". Bahkan pada titik tertentu nazar, bisa kita dorong menjadi sebuah ilmu. Sebab di dalam konsepnya yang sederhana "Jika X,maka Y" terdapat detail yang sungguh indah dan mengagumkan sebagai sebuah pengetahuan. Buku ini mencoba menerakan kepada kita semua tentang detail nazaritu.

Nazar seperti ungkapan suta tadi memberikan motivasi yang luar biasa. Kata-kata yang hendak dibuktikannya adalah kata-kata yang ia lepaskan pada waktu lampau, dan ia berusaha mengejarnya. Kata-kata itu memiliki kekuatan sendiri yang semestinya kita sadari sebagai sebuah cara menggapai mimpi kita. Apa lagi kata-kata yang sudah kita ikatkan pada Allah sang pemilik ijabah. Dalam nazar kata-kata adalah senjata yang selalu mengingatkan kita untuk tetap bersungguh-sungguh dalam memelihara keinginan dan berusaha dengan keras mendapatkannya.

Dengan demikian pada fase yang lain nazar adalah etos itu sendiri. Oleh sebab ia menberikan semangat, motivasi, dan sekaligus pada saat yang sama adalah kepasrahan doa kepada sang pengabul segala permohonan. Didalam nazar ada ramuan antara niat, ikrar,doa, kerja keras, ke-ijabah-an Allah, dan tentu saja kewajiban. Ramuan itulah yang bekerja pada diri manusia untuk meyakini bahwa lewat nazar sesungguhnya keinginan yang kita impikan sedang dalam "jalan" keterkabulan. Nazar memberikan kegairahan yang indah pada setiap upaya pencapaian cita-cita. Ia mengisi kekosongan sikap manusia dalam keduniaan, mengisinya dengan kegairahan. Bukankah kebahagiaan itu bersumber dari kegairahan menjalankan kehidupan yang sungguh pasang surut ini?

Saya kira tidak berlebihan jika menyebut nazar adalah managemen keinginan. Mengingat sepanjang hayat manusia keinginan adalah fitrah yang melekat padanya. Keinginan bisa bergerak ke arah baik, mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, maupun sebaliknya bergerak menjauhi sang pencipta. Maka nazar menjadi tepat untuk mengelola keinginan-keinginan yang selalu timbul dalam hati manusia. Nazar menyediakanseperangkan cara dan "laku" yang mesti dilakukan manusia untuk membujuk Allah agar keinginan kita terlaksana. Sebab nazar bukan semata-mata kata-kata yang diucapkan, lalu bersikap acuh, dan terserah apakah Allah mengabulkannya atau tidak. Nazar bukanlah legitimasi untuk bermalas-malasan, tetapi nazar adalah mentalitas untuk bersungguh-sungguh. ManJadda wa Ja da. Dengan begitu sesungguhnya manusia sedang mempelajari rahasia doanya sendiri.

Pada bagian selanjutnya dari buku ini menautkan bagaimana nazar itu berimplikasi pada kehidupan pribadi dan bermasyarakat. Bertautan dengan priabadi, nazar itu bersifat persiapan. Kerja keras. Apa yang dilakukan oleh suta, dalam awalan tulisan ini adalah bukti akan pernyataan ini. Suta menjadikan nazar sebagai persiapan untuk visi kedepan. Nazar menempatkan visi manusia dalam rentangan rencana yang linear. Dalam rentangan itu, nazar menyuguhkan manusia pada kehidupan yang terukur. Termasuk kemudian bagaimana nazar mengajarkan tentan gpentingnya mengendalikan diri, terutama kata-kata. Muara dari itu saya kira adalah bagaimana pelaksanaan nazar bisa menuntun manusia pada arah kebahagiaan hidup yang indah. Perpaduan yang seimbang antara ruhaniah dan badaniah.

Pada titik lainnya, terijabahnya nazar memperlihatkan dan mengingatkan manusia tentang kepercayaan yang telah diberikan Allah kepadanya. Sebagaimana seharusnya kita sadari bahwa dalam awal mula penciptaan manusia, kepercayaan allah itu sudah disandangkan kepada manusia untuk mengelola bumi dan alam semseta. Nazar menggugah ingatan kita yang kadang-kadang meragukan kepercayaan itu. Sekaligus menyadarkan kita untuk kembali mengemban kepercayaan yang seringkali kita tanggalkan dari tugas kehidupan kita.

Dan persambungan lainnya membawa kita pada makna keshalehan sosial yang semsetinya bisa dikembangkan kaum muslim dalam bernazar. Keleluasaan Allah yang membebaskan manusia untuk memilih kewajiban nazarnya selayaknya dikembalikan pada kemaslahatan sosial. Bukan malah memilih kewajiban yang individual nan egois, atau malah kewajiban yang menyiksa diri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline