Lihat ke Halaman Asli

Ryan Saputra

Mahasiswa Strata 1 di salah satu Universitas di Kota Kairo

Tradisi Ramadan yang Agak Laen

Diperbarui: 22 April 2024   12:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

“Ramadhan fi Misr Hagah Taniah” demikian orang Mesir menyifati bulan suci ini. Jikalau diartikan secara bebas, Ramadan di Mesir itu adalah sesuatu yang “agak laen”. Sederhananya yaitu sesuatu yang unik. Bagaimana tidak, negara yang begitu terkenal dengan keunikan tradisinya, membuat momen Ramadan menjadi salah satu hal yang akan membuat si penikmatnya ‘gagal move on’ dari serba-serbinya.

Ketika hari pertama Ramadan diumumkan, masyarakat pribumi ramai-beramai memasang pernak-pernik dari satu gedung ke gedung yang lain. Di momen ini juga, anak-anak kecil akan mengetuk pintu rumah warga dalam rangka meminta sokongan finansial. Katanya, untuk membeli hiasan dan semacamnya.

Selain itu, lentera-lentera dipajang di sepanjang jalan dan di depan rumah. Orang Mesir menyebutnya “Fanous”. Lentera ini dianggap sebagai simbol kebahagiaan dan sukacita karena Ramadan adalah bulan penuh suka cita bagi kaum muslim di Mesir. Maka, mereka pun menyambutnya dengan meramaikan Fanous di beberapa tempat.

Fanous diartikan sebagai “An-Nammam”, sejenis tumbuhan yang bisa bersinar ketika dibawa pada ruangan gelap (waterlight). Awal mula Fanous diidentikkan dengan Ramadan ketika masyarakat Mesir menyambut kedatangan Al-Muiz Li Dinillah, Khalifah Dinasti Fatimiyah yang datang ke Kairo setelah berhasil menaklukkan kekuasaan Dinasti Ikhsyidziyah melalui pasukan yang dipimpin oleh Panglima Jauhar as-Siqilli.

Selain hal-hal simbolik di atas, potret kedermawan pribumi merupakan sesuatu yang tak bisa penulis nafikan. Refresentasi dari akhlak Rasulullah SAW berupa sifat dermawan dapat kita saksikan di bulan ini. Dampaknya pun tidak hanya dirasakan oleh penduduk lokal saja, tapi juga bagi Masisir (Mahasiswa Indonesia di Mesir).

Tradisi “Maidatul Rahman” atau secara kasar “Prasmanan Tuhan” merupakan pemandangan filantropi yang hanya dapat dilihat di bulan Ramadan saja. Di mana sejumlah meja besar dan kursi disusun rapi di trotoar, masjid, atau taman umum untuk memberikan hidangan buka puasa. Perlu kita ketahui, bahwa hidangan ini diberikan secara cuma-cuma oleh para Muhsinin (orang dermawan). Sebuah prestasi logistik dan amal baik untuk senantiasa diindahkan.

Salah satu spot idaman Masisir adalah Masjid Al-Azhar. Sejak tahun 2022, di bawah arahan Imam Besar Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmed Al-Tayyeb, mengumumkan peluncuran inisiatif “Berbuka Puasa untuk Mahasiswa Internasional” pada bulan suci Ramadan yang berpusat di dalam Masjid Al-Azhar. Pihak Al-Azhar sendiri menyediakan menu buka puasa dalam skala yang besar, yaitu 4000 paket makanan “super jumbo” untuk para Wafidin (orang asing). Bagaimana tidak, porsi yang begitu lengkap dengan kombinasi nasi, ayam, kofta (daging cincang yang kemudian dibentuk seperti bola kecil atau memanjang), dan kentang goreng membuat diri tidak begitu dilematis akan menu sahur esok hari. Lauk yang biasanya tidak habis ketika berbuka, akan kembali dihangatkan dan siap menjadi santapan sahur.

Tentu bagi kami, sebagai mahasiswa Indonesia, tradisi ini sangat menguntungkan. Kami bisa menghemat uang bulanan hampir 50 persen pada bulan Ramadan. Apalagi bantuan berupa uang tunai juga banyak diberikan oleh para filantropis di Mesir secara tidak terduga. Bisa saja ketika kita sedang berjalan atau iktikaf di masjid, selembar bahkan beberapa lembar akan disodorkan oleh orang yang tak kita kenali. Bantuan uang tunai ini sering kami sebut dengan “Musa’adah” yang berarti bantuan.

Setelah beberapa menit waktu berbuka, beberapa jamaah akan bergegas menuju masjid untuk melaksanakan salat Tarawih. Bagi yang sedang memiliki kondisi perut yang penuh dan iman yang terpuruk, memilih salat di “Masjid Al-Bayt” atau “Masjid Al-Ikhlas” yang sering kami sebut untuk menjadikan rumah sebagai tempat salat adalah pilihan terdepan. Adapun yang imannya sedang dalam ‘top perform’, tidak sedikit dari mereka akan melakukan “Tarling” atau tarawih keliling ke berbagai masjid terkenal di kota Kairo.

Tahun ini, tradisi Tarling khususnya di lingkungan Masisir mendapatkan sorotan baru. Di mana yang awalnya hanya dijadikan sebagai momen “hunting masjid” dengan keindahan arsitektur yang dimiliki setiap bangunan, sekarang justru lebih bernuansa edukatif. Beberapa komunitas atau himpunan mahasiswa Indonesia yang berfokus pada kajian sejarah, hadir memfasilitasi jamaah yang hendak mengikuti Tarling ke beberapa tempat plus penjelasan historisnya.

Adapun kehidupan malam selama Ramadan sangat aktif, menyenangkan, dan berisik. Bunyi letusan petasan terdengar dimana-mana. Mulai dari yang paling jauh hingga ke yang paling dekat. Saking dekatnya, anak-anak kecil yang usil tidak segan-segan akan melemparkan petasan dari arah yang tak diketahui. Kadang dari balik gedung kadang juga dari atap rumah. Parahnya lagi, hingga hendak naik ke gedung apartemen pun, “bocil kematian” akan membakarnya tatkala ia mendengar suara langkah dan dengusan nafas kami.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline