Lihat ke Halaman Asli

Ryan Sanjaya

Professional Dreamer

Kampanye "Siap Divaksin"

Diperbarui: 16 Januari 2021   03:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa hari ini twibbon tentang "Siap Divaksin" dari berbagai institusi bersliweran di depan mata saya. Ada yang dari perusahaan, alumni sekolah X, komunitas Y, dsb. Saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya untuk apa sih bikin hal begituan? Pertanyaan ini tentu berangkat dari kegelisahan. Atau sebut saja, overthinking di tengah malam.

Pertama, saya menyadari betapa penting dan mendesaknya program vaksin Covid-19 ini. Karena alasan itulah dukungan atas program tersebut perlu didengungkan sebanyak-banyaknya, seluas-luasnya. Salah satu bentuknya adalah kampanye yang seperti ini.

Dengan situasi setiap orang dapat terhubung satu sama lain lewat media sosial, Twibbon barangkali cara yang cukup efektif untuk itu. Meski terus terang saya, belum mencari riset tentang keefektifan kampanye model begini.

Namun dari beberapa desain yang saya lihat, kedua, ada persoalan penekanan pesan. Alih-alih menekankan pada kesediaan untuk divaksin (yang entah kapan!) desain justru menekankan pada identitas dari kelompok (perusahaan, sekolah, komunitas, dsb.) atau sebutlah brand. Maka sudahlah jelas selain ada kepentingan ikut berkampanye dan menunjukkan sikap, kampanye ini sekaligus alat promosi untuk institusi-institusi itu.

Apa salahnya promosi? Tentu tak salah, dan bukan di situ poin yang saya tekankan. Poinnya adalah informasi tentang brand sebuah institusi seringkali lebih menonjol dari pesan kampanye itu sendiri. 

Jangan-jangan memang tidak berniat ikut kampanye? Atau malah mau manfaatkan kesempatan ini untuk promosi saja? Saya hanya khawatir bikin twibbon ini juga ikut-ikutan saja hanya karena yang lain juga bikin lebih dulu.

Selain itu, ketiga, saya kira kampanye model begini juga mensyaratkan satu hal: keterbukaan informasi diri. Awalnya saya mau tulis narsistik, tapi saya khawatir banyak Gen X yang akan tersinggung. Hanya mereka--yang cukup pede untuk unggah foto diri mereka secara jelas di media sosial--lah yang berhasil menjalankan kampanye model ini. Hasrat untuk eksis di media sosial ini juga turut mendukung keberhasilan kampanye model ini.

Dengan kata lain, si pembuat kampanye berhasil mengkampanyekan program mereka ke khalayak luas tanpa usaha yang berlebih-lebih. Lembaga-lembaga yang butuh promosi, didukung dengan kebutuhan untuk eksis di media sosial, mereka akan dengan senang hati turut mengkampanyekan program itu secara gratis. Ditinggal ngopi saja, tahu-tahu sudah meluas.

Saya yakin sebenarnya ada nama atau istilah khusus untuk menyebut kampanye model begini. Namun saya tak cukup informasi untuk tahu. Barangkali kalau pembaca tahu, bisa tambahkan di bagian komentar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline