Lihat ke Halaman Asli

Ryan Sanjaya

Professional Dreamer

Untung Pakai BPJS Kesehatan (Bagian 1)

Diperbarui: 19 Maret 2018   10:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image result for BPJS kesehatan


Saya Ryan Sanjaya, warga negara yang biasa-biasa saja. Sebagai warga negara yang biasa, saya turut sok-sokan memberi komentar-komentar di medsos kalau ada kebijakan pemerintah yang menurut saya merugikan. Nah, supaya adil dan seimbang, kali ini saya akan membagikan cerita "kepuasan" saya sebagai warga negara, yaitu menjadi peserta BPJS Kesehatan (selanjutnya saya sebut BPJS saja).

Di tengah ramainya kritikan tentang BPJS---baik konsep program hingga pelaksanaan di lapangan---saya menemukan diri saya sangat terbantu menjadi peserta di dalamnya. Awalnya saya terdaftar sebagai peserta mandiri BPJS dengan faskes I di kota asal saya, Yogyakarta. Sejak bekerja di Semarang, saya memindahkan faskes itu ke sebuah Puskesmas dekat tempat saya tinggal. Prosesnya mudah, tinggal instal aplikasi via PlayStore, lalu memindahnya.

Seingat saya, saya tak pernah pakai fasilitas BPJS hingga awal Maret 2018 lalu.

Sedikit mengulas kronologi, saya pernah kecelakaan tahun 2009. Lutut kanan saya sakit dan tidak stabil. Hasil rontgen tidak menunjukkan retak/patah pada tulang. Saat itu saya hanya tahu kalau ligamen saya cedera. Setelahnya, beberapa kali sendi lutut saya meleset dan saya kembalikan sendiri sampai bunyi "gleg". Sakitnya jangan ditanya. Dengan kondisi begitu saya tidak bisa sprint,main futsal, dan basket. Saya hanya bisa jogging, gowes, berenang, dan naik gunung. Belakangan saya baru tahu kalau aktivitas terakhir ini bahaya sekali bagi pasien lutut seperti saya.

Nah, awal Maret 2018 itu saya terjatuh ketika menuruni tangga di kantor. Saat itu gelap sekali dan saya tak pakai penerangan. Kaki kanan saya masuk got kecil, yang lalu bikin lutut saya nyeri lagi. Karena tak mau ambil risiko lebih besar, saya berniat periksa. Kebetulan saya sedang pulang di Jogja, jadi sekalian periksa di RS Panti Rapih (tidak pakai BPJS). Ketika memeriksa lutut saya, dokter bilang, "Wah, goyang sekali, mas." Dia menyarankan saya untuk MRI.

Singkatnya, saya memutuskan MRI di Semarang supaya lebih fleksibel. Pertama-tama saya mendatangi Puskesmas untuk mendaftarkan diri. Prosesnya cepat, kebetulan pasien sudah sepi. Sampai di ruang periksa saya ditanya kronologi dan keluhan. Intinya saya meminta surat rujukan dari Puskesmas untuk MRI di RS Elisabeth.

Berbekal surat rujukan, KTP, dan kartu jaminan kesehatan (semuanya difotokopi 1x) saya mendaftarkan diri ke RS Elisabeth. Sebelumnya saya mendaftar secara online kepada dokter yang dituju (spesialis ortopedi). Prosesnya tidak ribet. Waktu menunggu juga hanya sekitar 30 menit.

Saya diperiksa oleh dokter dan disarankan untuk MRI. Surat untuk MRI itu saya sampaikan ke Instalasi Radiologi yang khusus MRI. Besoknya pukul 9 pagi saya dijadwalkan MRI. Untuk informasi, harga MRI di RS Panti Rapih sekitar Rp1,9 juta (informasi dari dokter). Harga di RS Elisabeth saya tidak tahu.

Hasil MRI keluar sehari setelah periksa. Saya ambil hasilnya sambil menunggu jadwal konsultasi dengan dokter. Prosesnya sama, saya daftar online dulu. Kemudian saya datang ke RS Elisabeth untuk mendaftarkan lagi dengan syarat yang sama. Rujukan dari Puskesmas bisa dipakai sampai tiga bulan.

Di ruang periksa itu dokter melihat hasil MRI dan memeriksa lutut saya sekali lagi. Dokter bilang, "Jelas ini ACL putus, mas. Kalau mau pulih ya perlu operasi."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline