Lihat ke Halaman Asli

Ryan P. Putra

Kupu-Kupu Kayu

Kanda di Kisah Hujan

Diperbarui: 19 September 2021   21:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: weheartit.com

Jika para jutawan bertanya kepadaku, apa yang paling berharga dan tak tergantikan posisinya di jagad raya ini? Aku hanya menjawab Kanda, mutiara kasihku. Ia bukan segudang uang atau setumpuk emas yang tak bisa dihitung jumlahnya. Ia kekasihku.

Awal aku mengenal Kanda saat kami berteduh dari derasnya hujan di tempat dan waktu yang sama. Di teras sebuah toko yang masih tutup, kami mengawali kisah ini. Layaknya lelaki normal, aku mencoba menjabat tangannya tapi ia tak menjabat tanganku. Wajar saja, aku tak tahu sebelumnya bahwa di balik kerudungnya yang membuatnya tetap suci dari lelaki bukan muhrimnya.

"Sudah lama berteduh di sini, Mbak?"

"Baru saja kok. Sekitar sepuluh menit."

Kebetulan kami tak pernah bertemu sebelumnya, membuat kami saling malu bercerita. Tempat itu hanya ada kami berdua. Aku merasa tak enak berdua bersamanya. Anehnya, ia merasa biasa saja denganku. Tak merasa sedikit sungkan atau curiga denganku. Mungkinkah ia malaikat? Atau bidadari yang diutus oleh Tuhan dari surga untuk menemaniku beberapa saat? Rasanya tak mungkin. Ia manusia biasa, seperti denganku.

Aku lupa membawa ponsel dan tak memungkinkan aku membaca buku mata kuliahku hari itu. Tempat berteduhku terlalu sempit. Hanya menjulurkan tanganku ke depan saja sudah terkena air hujan. Aku memberanikan diri untuk bertanya-tanya dengan Kanda, daripada tak ada lagi yang bisa kami lakukan. Mengingat Kanda sedang melamun memandangi hujan yang tak kunjung reda. Entah apa yang ia lamunkan, aku tak tahu dan bukan urusanku. Aku tak ada maksud macam-macam dengannya. Serius. Yang aku lakukan saat itu hanya mengajak Kanda berbicara, menanti kedatangan pelangi selepas hujan pagi itu. Untung saja ia merespon baik pembicaraanku.

"Maaf, Mbak kuliah atau kerja?"

"Saya kuliah. Kalau Masnya sendiri?"

"Saya juga kuliah."

Kami bercerita banyak hal. Mulai dari kuliah kami yang kebetulan satu jurusan dan seperguruan tinggi, asal daerah kami, hingga bercerita tentang tim sepak bola favorit kami yang sama. Sekejap juga kami bertatapan, sekitar dua detik. Dalam waktu sesingkat itu aku melihat secercah pelangi di kedua bola matanya meski hujan masih mengguyur. Begitu indah dan mengesankan sekali, menurutku. Mungkin ia merasakan hal yang sama denganku. Dilihat dari cara melihatnya saja tak biasa lagi. Lagi-lagi ia tak mungkin seperti itu. Aku saja yang terlalu percaya diri dengannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline