Bersepeda akhir-akhir ini menjadi gaya hidup semua lapisan masyarakat. Tua muda, besar kecil, pria wanita ramai-ramai gowes. Entah dengan sepeda baru atau perbaiki barang lama yang terbengkalai.
Berdasar pengamatan saya, sepeda kembali menjadi tren menjelang akhir 2019. Ada yang bilang, tren bertonggak pada Jambore Sepeda Lipat Nasional (Jamselinas) ke-9 di Palembang, September 2019. Lalu pada Desember, diperbesar dengan kasus penyelundupan Brompton oleh petinggi Garuda Indonesia.
Mulai dari sana, sepeda makin dilirik. Ditambah embel-embel harga selangit sepeda handmade Inggris itu, orang semakin penasaran dan antusias.
Sepeda kian mendapat tempat saat pandemi Corona menyebabkan aktivitas tidak berjalan sebagaimana biasa. Waktu kosong semakin banyak tersedia. Sepeda dianggap sebagai pelarian positif.
***
Saya bisa kendarai sepeda saat masih TK. Sepeda pertama yang saya punya berjenama Triumph. Gagah dan bercat oranye menyilaukan.
Guru bersepeda saya tentu Bapak. Saat sudah bisa, tengah hari bolong yang terik tak saya pedulikan. Ibu berteriak mencegah tak saya hiraukan. Rute saya sebenarnya tak jauh. Hanya di gang sebelah rumah sampai gang sebelah sananya. Euforia dan sensasinya masih terasa.
Sepeda kedua dibelikan Bapak saat kelas dua SD. Berukuran lebih besar daripada sebelumnya. Merk-nya Mustang. Berwarna ungu tua. Sangat elegan dan menggetarkan.
Seingat saya, Mustang saya pakai tak sampai dua tahun. Saat kelas tiga, Bapak menggantinya dengan sepeda yang saat itu sangat hype. Sebuah merk yang lekat dengan karakter domba heeebooh~
Ya betul, sepeda saya berikutnya Wim Cycle BMX dengan sadel melayang. Lagi-lagi berwarna ungu tua. Kali ini lebih glossy dan mevvah.
Wim Cycle seri itu menjadi standar kekerenan bocah SD di masanya. Saya dan kakak sepupu beruntung bisa memiliki. Sadelnya dipasang di atas sebuah besi diagonal dan benar-benar diposisikan melayang. Untuk menjaga kenyamanan, di bawahnya dipasang karet kerucut sebagai tumpuan. Mirip bentuk suspensi Brompton.