Lihat ke Halaman Asli

Ryan Perdana

Pembaca dan Penulis

Ketika Pamer Menjadi Kebutuhan

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bukan menjadi hal yang mengherankan lagi, bahwa hidup kita saat ini sangat dekat dan lekat dengan media sosial (medsos) yang dapat diakses dari berbagai piranti canggih. Medsos menjadi benda ajaib yang mungkin belum pernah diterka akan menjadi mainan baru manusia jaman ini dengan segala baik buruknya. Medsos menjadi persinggahan yang sangat permisif hingga manusia dapat membagikan hal yang dahulu mungkin hanya akan diketahui oleh diri sendiri, Tuhan dan dinding kamar.

Medsos dengan berbagai format dan jenis peruntukan, telah menjadi agen perubahan kehidupan manusia. Melalui medsos, manusia dapat menskenariokan diri menjadi tokoh apapun sesuai keinginannya. Seperti saya singgung di paragraf atas, medsos merupakan media yang sangat permisif. Kita bebas melakukan apa saja, tentu dengan beberapa konsekuensi yang harus kita bayar di kemudian hari.

Medsos pada dasarnya adalah media untuk berinteraksi. Fungsinya tak beda jauh dengan bertelepon, berkirim telegram atau mengutus merpati untuk menyampaikan secarik pesan. Hanya saja, saat ini, dimana kemajuan teknologi sungguh pesat, interaksi mengalami perkembangan yang di dalamnya terkandung perubahan pada media, cara dan mungkin rasa.

Dalam berinteraksi, tentu akan terdapat proyek bernama berbagi. Medsos mempermudah manusia untuk membagikan apa pun yang dipunyainya. Bebas, bebas sekali.

Medsos memang ada untuk berbagi. Berbagi menjadi ciri autentik manusia yang memang diprogram Tuhan untuk menjadi makhluk sosial. Yang menjadi pengamatan saya, atau mungkin banyak orang di luar sana, medsos dalam perjalanannya menjadi lembaga baru yang sungguh nyaman untuk show off, untuk memamerkan segala hal.

Pamer adalah keponakan dari berbagi. Namun, pamer dan berbagi memiliki esensi yang berbeda. Berbagi membawa kemaslahatan, sedangkan pamer belum jelas fungsinya selain untuk unjuk kepunyaan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pameradalah menunjukkan (mendemonstrasikan) sesuatu yang dimiliki kepada orang lain dengan maksud memperlihatkan kelebihan atau keunggulan untuk menyombongkan diri. Dari definisi resmi itu, jelas bahwa pamer dilakukan bukan dengan niat luhur. Pamer dilakukan untuk mempertontonkan apa yang dimilikinya kepada orang lain.

***

Pamer dalam konteks era medsos memiliki banyak sekali jenis teknik. Mulai dari teknik pamer terang-terangan sampai kepada jenis pamer terselubung (dislimurke). Orang yang tidak suka pamer dan orang yang suka pamer memiliki berbagai macam kemungkinan. Berikut ini kemungkinan-kemungkinan tentang orang yang tidak dan suka pamer:

Orang yang tidak suka pamer

a.Memang ia tipe orang yang tak suka berpamer. Sudah wataknya memang demikian.

b.Ia tidak memiliki sesuatu yang menurutnya pantas untuk dipamerkan

c.Ia sudah lama memiliki sesuatu, yang mungkin bagi orang lain hebat dan pantas dipamerkan, hanya karena ia sudah lama memilikinya, lalu merasa biasa saja

Orang yang suka berpamer

a.Memang dari lahir ia suka berpamer, sudah wataknya seperti itu

b.Ia baru saja memiliki sesuatu, sehingga ia merasa heran sendiri dan tak tahan untuk   menyiarkannya ke seluruh dunia

Kira-kira seperti itu beberapa kemungkinan variabel penyebab mengapa orang suka dan tidak suka pamer. Sekarang, mari bergeser ke beberapa teknik pamer di medsos. Berikut ini beberapa diantaranya:

a.Suka selfie dengan jurus Camera360

Selfie tentu salah satu bentuk pamer. Memamerkan keindahan wajah, tubuh atau benda di belakangnya. Itu semua tak masalah, sampai pada digunakannya software penyunting foto yang pada akhirnya merugikan pelaku selfie sendiri. Dengan software Camera360, wajah akan menjadi terlihat lebih bening dan bibir menjadi ranum, tak peduli bagaimana penampakan asli si objek foto. Walau memang fitrah manusia ingin tampil indah, namun dengan melakukan manipulasi seperti itu, akan membawa kepada kekecewaan jika kelak ada seseorang yang tertarik dengan penampakan di foto, lalu ingin melakukan perjumpaan secara langsung. Niscaya, ia akan berpekik: “LHA KOK JEBULNYA BEGINI? PIYE IKI? *lalu lapor polisi dengan kasus penipuan dan perbuatan tidak menyenangkan*

b.Berfoto di depan kaca

Berfoto dengan model seperti itu akan memunculkan dugaan, selain sedang memamerkan penampilan hari ini (outfit of the day), sebenarnya juga sedang menampilkan back cover gadget yang digunakan untuk berfoto, dan si pemirsa akan berdecak kagum: “HAPENYA KEREN BEUH, MERK MITU BEUH”

c.Teknik peletakan benda-benda keren

Jamak terlihat, selain memamerkan makanan yang akan atau sedang dikonsumsi melalui foto, beberapa orang dengan sengaja meletakkan benda-benda yang mungkin menurutnya akan menaikkan citra dirinya. Di foto-foto kasus ini, di samping piring, atau terselip di bawah kaki meja (?) akan terlihat kunci mobil, ponsel mahal dan tangan gebetan (?)

d.Difoto hanya ketika makan di tempat keren

Kasus seperti ini bisa disebut sebagai hiperealitas. Hiperealitas adalah kecenderungan membesarkan sebagian fakta dan sekaligus menyembunyikan fakta lain. Nah, ini ‘kan cocok dengan kebanyakan yang terjadi di medsos. Makanan yang difoto hanya ketika makan di tempat elite, mahal dan biasanya makanan produk asing. Mengapa ketika makan di warteg dekat kelurahan atau di angkringan depan pos kamling tidak difoto?

e.Dengan teknik mengeluh dan bersyukur

Ini jenis pamer yang termasuk ke dalam jenis pamer dengan teknik yang lumayan. Bisa dengan mengeluh, bisa dengan berucap syukur, atau kombinasi keduanya. Misalnya seperti ini: “Duh, hape yang dibeliin papah di Nigeria lecet-lecet nih”.

Sepertinya memang keluhan sebagaimana layaknya keluhan, namun biasanya di dalamnya disisipi hal yang mungkin bagi banyak orang di luar sana akan menimbulkan kekaguman. Bisa tentang benda mahal atau tempat dimana benda itu dibeli dan lain sebagainya. Bagaimana tidak kagum kalau beli hape saja harus ke Nigeria.

Teknik pamer berikutnya adalah dengan bersyukur, misalkan: “Syukur alhamdulillah mama akhirnya sampai juga di Namibia”. Tentu saja itu akan menimbulkan decak bagi orang yang membaca status di medsos. Kagum dong, ngapain gitu si mama ke Namibia.

Teknik berikutnya adalah dengan mengombinasikan mengeluh dan bersyukur, seperti ini biasanya: “Huft alhamdulillah setelah deg-degan nunggu kabar, papah mamah pesawatnya nyampe juga di Wonogiri


Sebenarnya masih banyak jenis-jenis pamer yang sering terdapati di medsos. Namun saya pilih beberapa saja yang sekiranya cukup mewakili untuk dijadikan contoh. Perihal apa yang menjadi kebanggaan, tentu sangat relatif dan subjektif.



***

Sejak medsos marak dan saya menjadi salah satu penggiatnya, saya tertarik dengan fenomena pamer melalui alam virtual. Terlepas apakah itu diniatkan untuk pamer atau tidak, intinya adalah menampilkan segala hal yang berpotensi mengundang keheranan dan kekaguman orang yang menyaksikannya. Pamer di dunia maya menjadi hal yang murni baru, karena medsos asli keturunan kandung dekade ini.

Melalui medsos, potensi pamer manusia -yang terpaksa disimpan sekian lama karena ketiadaan tempat pengejawantahan- seperti mendapatkan wahana realisasi. Karena keterbatasan, untuk jangka waktu yang demikian panjang, potensi pamer yang ada pada manusia harus diendapkan. Mungkin pamer secara terbatas sudah terlaksana melalui media konvensional yaitu komunikasi tatap muka dan foto cetak atau lainnya. Namun, medsos secara masif mampu menjadi pelepas dahaga yang akhirnya mampu melunaskan gelegak pamer yang lama tertahan.

Melalui medsos, terpantau orang berlomba mengabarkan apa yang dimilikinya. Entah itu lekuk tubuh, materi kebendaan atau kemampuan keilmuan. Lantas, apa sebenarnya yang melandasi ini semua, hingga kemudian medsos menjelma menjadi media yang sungguh pas untuk menampilkannya?

Setelah berpikir, akhirnya saya teringat suatu konsep teori kebutuhan yang dilontarkan oleh Abraham Maslow. Salah satu mata kuliah yang saya pelajari di bangku kuliah mengijinkan saya untuk sedikit mencicipi teori psikologi yang sangat masyhur tersebut. Saya pun kembali membuka teori yang lama terlupa.

Abraham Maslow membagi kebutuhan manusia menjadi piramida yang terdiri dari lima tingkat. Kebutuhan diawali dari piramida strata paling dasar yaitu kebutuhan fisiologis, lalu berlanjut ke kebutuhan keamanan, kebutuhan cinta, sayang dan kepemilikan, kebutuhan penghargaan dan paling atas, kebutuhan aktualisasi diri. Dimanakah posisi pamer jika dikorelasikan dengan Teori Maslow?

Melalui logika rasional sederhana, akhirnya saya merasakan bahwa pamer paling pas jika dimasukkan ke dalam tingkat piramida keempat, yaitu kebutuhan penghargaan (esteem). Dengan mudah tersimpulkan, para penggiat medsos secara relatif dapat dikategorikan ke dalam golongan kelas menengah yang telah mampu memenuhi kebutuhan primer. Mereka termasuk ke dalam kasta yang sudah tidak memikirkan bagaimana cara makan besok, apakah akan basah jika hujan turun dan memiliki kerabat yang cukup untuk kebutuhan kasih sayang. Namun, penggiat medsos –yang gemar berpamer– rasanya belum sampai ke tingkat puncak piramida Maslow, yaitu aktualisasi diri.

Mereka rata-rata belum cukup “dewasa” untuk mampu mengenali arti hakikat kehidupan. Mereka belum khatam mengenali diri sendiri. Mereka belum cukup memiliki karakter diri kuat yang pantas untuk disimpulkan sebagai ciri asli dirinya sebagai manusia matang. Mereka belum sampai pada taraf untuk melihat kehidupan secara komprehensif dan memilih untuk menghadapi segala permasalahan, bukan menghindarinya. Mereka belum sampai tingkat menjadi pribadi yang mengenali potensi dan kemampuan diri yang sebenarnya, untuk kemudian diaktualisasikan dan diniatkan untuk kemaslahatan pribadinya dan orang lain.

Manusia yang telah sampai di piramida tertinggi Maslow berorientasi kepada tujuan, terus maju dan berkembang menuju ke arah yang lebih baik. Bukan lagi manusia yang masih terjebak pada bahasan orang lain tentang dirinya. Bukan lagi manusia yang masih kebingungan dan lelah mendengar apa yang diomongkan kiri kanan.

Penggiat medsos yang gemar berpamer masih berada pada piramida keempat, kebutuhan penghargaan. Karena mereka masih memiliki kebutuhan prestise, penghargaan dari orang lain, status, ketenaran, dominasi, menjadi penting, kehormatan dan apresiasi. Mereka menampilkan segala apa yang dimiliki, bahkan terkadang sedikit menutupi/tak menampilkan keadaan yang sesungguhnya karena masih butuh pengakuan. Begitulah..

Pamer dengan segala bentuknya memang sangat wajar dan termasuk kebutuhan. Pamer adalah perilaku yang sangat manusiawi. Manusia memang sudah digariskan untuk menampilkan apa yang menjadi kebanggaannya, dan itu bisa dijelaskan melalui teori keilmuan yang sudah diakui. Tentang apakah pamer itu disarankan atau tidak, berguna atau tidak, berdosa atau tidak, saya tidak memiliki wewenang ilmiah dan spiritual untuk mengukur dan menghasilkan keputusan final yang dapat dipertanggungjawabkan kadar kesahihannya..

Referensi Teori Maslow:

http://wardalisa.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/26402/Materi+07+-+TeoriAbrahamMaslow.pdf

http://www.praswck.com/aktualisasi-diri-menurut-abraham-maslow

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline