Lihat ke Halaman Asli

Ruang Kosong

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana…

seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu…

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana…

seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada…” (Kahlil Gibran)

***

Kicau burung pagi hari ini terdengar syahdu. Sapuan angin menyibak rambutku. Daun-daun berguguran dengan penuh kelembutan. Embun-embun hampir jatuh dari pucuk dedaunan. Kuhirup udara penuh romantisme alam perlahan-lahan.

Tak henti memori itu terulang dalam pikiranku. Hentakan kaki yang begitu gesit. Celana panjang abu-abu yang mengecil pada lingkaran mata kaki. Baju putih yang terserika rapi. Jaket kulit hitam pekat yang tak pernah kulihat dalam keadaan tertutup benar.

Di kursi taman inilah pertama kalinya kami beradu pandang. Begitu indah jika kuingat saat itu. Langkah kaki yang semakin melambat ketika kau melewati kursi ini. Senyum manis yang mengembang di pipi itu muncul begitu saja. Padahal kau tak mengenalku pada saat itu.

Siapa yang tak kenal dengan lelaki ini. Kapten tim sepakbola U-19 PSIS Semarang. Ya, di sekolah ini dia juga merupakan kapten tim sepak bola. Kiprahnya di dunia persepakbolaan sudah dimulainya sejak kelas 3 SD. Mulai dari menjuarai sepak bola antar kecamatan, menjuarai kejuaraan sepak bola tingkat kota hingga meraih Piala Gubernur Jawa Tengah selama 3 tahun berturut-turut.

Dunia persepakbolaan merupakan jembatan bagiku. Jarak ini menjadi semakin kecil saat aku menemukannya tengah bersorak-sorak di sudut cafe mendukung Real Madrid, klub sepak bola spanyol yang sangat digandrungi. Malam itu adalah malam penentuan juara Liga Champions. Real Madrid vs Chelsea. Final malam itu berlangsung sangat alot.

Tiba-tiba, langkah kaki itu... Tak kusangka dia menemukanku di tengah kerumunan The Blues yang begitu bersemangat. “Lho, cewek suka sepak bola?” Tak langsung kujawab pertanyaan itu. “Iya nih, aku suka Chelsea sejak dulu.” Percakapan singkat itu mengubah pikiranku tentangnya. Dia tak sedingin yang kubayangkan.

Esok harinya di tengah kepadatan kantin sekolah, dia memberiku selamat. “Wah selamat ya! Chelsea jadi juara Liga Champions tahun ini. Tapi sebentar lagi si pencetak gol bakalan hengkang ya? Duh kasian. Gantinya sang legendaris Drogba siapa dong nanti?” Begitu excited sekali ekspresinya. “Iya dong Chelsea menang! Soal Drogba gampanglah, aku yakin Chelsea bakalan tetep produktif selama kaptennya masih John Terry.”

Mulai saat itu, pintu di antara kami semakin terbuka lebar.  Senyum itu semakin mengembang. Obrolan itu semakin bercabang. Tak lupa kuselipkan pertanyaan mengenai masa depan. Ternyata, ia berniat untuk melanjutkan studi ke Jerman.  Beasiswa dari Munchen Football Academy lah yang membawanya ke sana.

Seakan tersentak, aku mulai membayangkan hal yang buruk. Nafsu makanku mulai tak teratur. Jam tidurku terbolak-balik. Jerman bukanlah tempat yang dekat.  Sanggupkah aku menepis rindu yang datang? Sanggupkah aku kehilangan senyum manis itu?

Hari ini adalah hari yang kutunggu. Hari dimana status pelajarku akan hilang. Hari dimana masa depan yang sesungguhnya harus diperjuangkan. Sekaligus hari dimana awal perpisahanku dengannya.

Namanya begitu terpampang jelas di papan pengumuman kelulusan. Muhammad Hendrawan Nasution, siswa yang lulus dengan nilai Bahasa Indonesia sempurna dan merupakan satu-satunya siswa di sekolah kami yang melanjutkan studi ke luar negeri.

Hari itu merupakan hari yang seharusnya menjadi hari perpisahan. Hari yang seharusnya kumaknai dan kuhargai akan betapa berharganya waktu. Namun, hari itu justru menjadi awal pertemuan bergejolaknya hatiku dengan amarah. Bagaikan api yang tersulut, amarah ini sulit untuk diredam. Bagaikan guci emas yang retak, rasa kecewa ini sulit untuk diperbaiki kembali. Kau menghilang tanpa satu kata pun terucap dari mulutmu. Tak ada kabar bahkan sepucuk surat pun melayang ke rumah semenjak hari itu.


“Setiap manusia memiliki ruang kosong di hatinya. Ketika seseorang datang dan kita berpikir bahwa dia mengisi ruang kosong itu, sebenarnya dia hanya berdiri di depan pintu dan menyamarkan ruang kosong itu. Ruang kosong di  hati kita tetap ada dan tidak akan pernah benar-benar terisi.” (FL)

Sudah hampir satu tahun lamanya aku menunggu kabar darimu. Setiap kali aku berkunjung ke rumahmu, orang tuamu selalu mengatakan bahwa kau belum pulang.

Tak kuasa menahan semua pedih ini, tak terasa sudah setengah dari buku diaryku terisi oleh namamu, kisah tentangmu, hingga khayalan gila hasil karya imajinasiku. Aku hanya berharap kau di sana dapat merasakan kerinduan yang kutuangkan di buku diaryku.

***


“Seseorang yang kita pikir adalah milik kita ternyata bukan benar-benar milik kita. Kita memiliki hatinya dan cintanya. Tapi kita tidak akan pernah memiliki jalan hidupnya.” (FL)

Malam itu, 21 September 2012, tepat dua tahun setelah nobar final Liga Champions antara Chelsea dan Real Madrid, aku kembali mendatangi cafe itu. Sederhana, tujuanku hanyalah ingin merasakan euforia atmosfer dunia persepakbolaan lagi. Maklum, semenjak kepergianmu ke Jerman, aku sudah tak berminat lagi dengan hal-hal berbau sepak bola. Di sela-sela perjalanan, kulihat terjadi kecelakaan tunggal sebuah mobil. Lagi, aku selalu mendoakanmu agar kau baik-baik saja di sana.

Setelah sampai dan memesan gordon bleu, makanan kesukaanmu, aku mendapatkan telepon dari Febby. Shock, gelas yang sedang kupegang spontan jatuh dan pecah berserakan. Ternyata kecelakaan tunggal yang kulihat tadi adalah mobil milik Hendra.

Sampai di rumah sakit, dengan tagnisan yang begitu histeris, aku menanyakan keberadaan Hendra. “Tisa, yang tabah ya. Kamu jangan sedih, aku yakin Hendra pasti juga nggak pengen liat kamu sedih gara-gara dia.” Aku menjawab, “Hendra dimana?! Dia nggak parah kan?”. Tisa menjawab, “Hen.. Hendra nggakpapa kok Tis, dia udah tenang di sana”. “NGGAK! Nggak mungkin. Itu pasti bukan Hendra. Hendra lagi di Jerman, dia belum balik ke Indo. Itu pasti bukan Hendra. Nggak mungkin.”

Mendengar tangisanku, orang tua Hendra menghampiriku dan mencoba menenangkanku. Mereka mencoba meyakinkanku bahwa Hendra sudah benar-benar pergi dengan tenang. “Hendra sudah pulang ke Indonesia sejak delapan bulan yang lalu. Penyakit kanker Hendra memasuki stadium keempat setelah tiga bulan dia berada di Jerman. Karena itulah Hendra tidak berpamitan padamu saat dia akan berangkat ke Jerman. Hendra tidak ingin kamu bersedih melihat penyakit Hendra. Hendra hanya ingin kamu membencinya dan melupakannya. Hari ini Hendra ingin menonton final Liga Champions di cafe kesukaan kalian. Hendra ingin melihatmu lebih dekat lagi. Dia tahu bahwa kamu pasti akan menonton final Liga Champions di cafe itu. Namun takdir berkata lain. Hari ini Hendra akan dimakamkan di tempat pemakaman dekat rumah. Hendra pernah berpesan bahwa jika suatu hari nanti Hendra meninggal, Tisa tidak boleh terlihat sedih di pemakaman Hendra. ”

Orang bilang, bukan kematian adalah sebuah ajang pertemuan. Ketika semua orang berkumpul dan mengenal seseorang yang meninggalkan kita. Seperti hari ini, gerimis pun mengiringi kepergian Hendra. Hendra, dia sangat suka gerimis. Semua yang menyayangi dia tahu itu. Dan semua yang ada di sini menyayangi dia. Aku dan mereka. Selamat tinggal Hendra.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline