Sore itu langit berwarna keemasan - seperti biasanya. Seperti biasanya pula kami bertiga duduk diam memandangi matahari yang sebentar lagi tenggelam di ufuk.
Entah berapa lama kami tenggelam dalam kesunyian.
"Suara itu semakin jelas dan sering terdengar belakangan ini," aku memulai percakapan.
Salah satu dari mereka menoleh,
"Benarkah?" tanyanya yang kubalas dengan anggukan.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" kini terdengar pertanyaan dari sisi kiriku.
Aku tak langsung menjawab. Nun jauh di depan sana, batas antara matahari dengan cakrawala semakin menipis.
"Fin?" mereka menyebut namaku.
Setelah menghela napas sejenak, aku bangkit lalu memandangi mereka - Nasta dan Andromeda.
Sejak kapal yang kutumpangi mengalami kecelakaan akibat hantaman badai, hanya mereka berdua yang pertama kulihat - sampai saat ini. Aku tak tahu apakah mereka penumpang kapal naas tersebut atau penghuni pulau terpencil di tengah laut ini.
Bahkan, Nasta dan Andromeda pun adalah panggilan yang kuberikan pada mereka, karena aku tak pernah tahu nama mereka. Mereka hanya tersenyum setiap kali aku bertanya.