[caption id="attachment_360340" align="aligncenter" width="600" caption="Selingkuh yang jadi HL (screenshot)"][/caption]
Sudah baca cerpen saya yang berjudul "Selingkuh?"? Cerpen ini mengisahkan kegundahan hati seorang istri (Cinta) atas sikap Romi - suaminya yang berusia 39 tahun. Ketika sikap Romi dikonsultasikan pada sahabatnya, Cinta diberitahu adanya kemungkinan bahwa Romi selingkuh - apalagi jika dikaitkan dengan usianya yang menginjak fase puber kedua.
Ending-nya?
Yang sudah baca pasti tahu bagaimana akhir ceritanya, sementara bagi yang belum membaca, saya sarankan untuk terlebih dulu membaca cerpen tersebut di sini sebelum melanjutkan membaca tulisan ini.
Cerpen tersebut dijadikan HL oleh admin Kompasiana dan menjadi salah satu cerpen saya yang banyak dibaca dengan hits di kisaran 320 saat ini - dan masih terus berjalan karena belum lama dipublish - walau mungkin masih belum bisa menyamai Chapter 1 cerbung "Kejarlah Cinta" (Maret 2014) yang mendapat angka kunjungan di atas 425.
Tapi tahukah Kompasianer bahwa belakangan saya merasa menyesal sudah mem-publish cerpen tersebut?
Kenapa Menyesal?
Penyesalan itu bermula dari obrolan via whatsapp dengan sahabat saya Mbak Lis Suwasono yang karya-karyanya bisa dibaca di blognya. Dalam obrolan itu Mbak Lis menyatakan bahwa dari awal sudah bisa menebak ke mana arah cerpen saya.
"Awalnya sih udah bisa ketebak kalo itu 'plesetan' alias nggak kejadian bener. Gimana ya? Agak kurang jeduarrr gitu," tulisnya.
Dan penyesalan saya makin bertambah ketika Mbak Lis memberikan pendapat bahwa cerita akan lebih asyik seandainya Romi memang benar-benar selingkuh dan dia beli 2 rumah dari hasilnya bermain saham/valas.
Ya, saya menyesal.
Saya menyesal karena sejujurnya ada bagian yang dihilangkan dari cerpen "Selingkuh?" hanya beberapa saat sebelum saya mengeklik tombol "Publish". Sebenarnya saat cerpen itu masih berupa konsep di otak hingga dituangkan dalam bentuk draft, saya berniat memberikan akhir cerita menggantung yang penafsirannya diserahkan pada pembaca.
Dengan ending tersebut, pembaca yang sejak awal sudah percaya bahwa Romi selingkuh pasti akan berpikir, "Tuh 'kan dia emang selingkuh."
Sementara pembaca yang tadinya berpikir Romi selingkuh tapi kemudian lega bahwa suami Cinta tersebut tidak selingkuh pasti akan dilanda kebingungan, "Sebenarnya Romi selingkuh atau nggak?"
Penyesalan saya adalah, saya ternyata tidak konsisten dengan konsep cerita yang sudah saya buat. Kemungkinan saya terpengaruh oleh suasana hati yang sedang ceria di malam Minggu saat membuat tulisan tersebut atau mungkin juga saya sedang ingin membahagiakan pembaca sehingga akhirnya dibuanglah satu scene akhir dari cerpen "Selingkuh?" itu.
Kenapa saya bilang ingin membahagiakan pembaca?
Jika diperhatikan, beberapa cerpen saya memiliki akhir cerita yang tidak bisa dibilang bahagia. Jika bukan tragedi ya selalu "oh ternyata begitu", Kompasianer bisa mengeceknya sendiri di sini. Nah, mungkin karena ingin memberikan sesuatu yang lain dari biasanya, maka untuk cerpen "Selingkuh?" saya menawarkan happy ending.
Lalu seperti apa draft "Selingkuh?" sebenarnya?
Inilah draft "Selingkuh?" sebenarnya.
=====================================================================
Cinta termangu.
“Jadi, semuanya sudah jelas ‘kan sayangku?” Romi menggoda Cinta.
“Kamu jahat!” tukas Cinta. “Jahat banget! Bikin aku jantungan setengah mati.”
Romi hanya tertawa. Ia kemudian menggandeng lengan istrinya.
“Nah, mau liat rumah baru kita?” tawarnya.
* * *
Malam itu ponsel Romi berbunyi lirih disertai getaran pendek, rupanya ada satu pesan masuk. Dengan malas dan mata yang setengah terpejam, Romi mengambil ponselnya dan duduk di pinggir tempat tidur.
Pesan tersebut dikirim dari nomor yang tak terdaftar di ponselnya.
"Maas, besok kita jadi ketemuan 'kan? Kamu tau nggak sih kalo tiba-tiba malam ini aku kangeeen banget sama Mas. Malam ini aku tidur sendirian deh, besok temani aku yaa. Salam kangen kangen kangen.
PS : Dari tadi aku pengen ngirim SMS ini tapi takut ketauan istri Mas. Tau nggak sih kalo aku juga bisa cemburu?"
Kening Romi berkerut membaca pesan tersebut.
Tak ada yang tahu apa lelaki tersebut pikirkan saat ini.
=====================================================================
Itu satu scene terakhir yang saya buang dan berpotensi membuat akhir cerita jadi menggantung seandainya di-publish. Next-nya, saya akan mencoba lebih konsisten dengan konsep yang sudah saya buat.
Bagaimana menurut pendapat Kompasianer? Lebih suka ending yang mana? Dan apa pendapat Kompasianer tentang Romi dan hubungannya dengan pesan yang masuk ke ponselnya tersebut?
Tulisan ini masuk kategori “Selfish” dan dipublish pertamakali di www.kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H