Lihat ke Halaman Asli

Ryan M.

TERVERIFIKASI

Video Editor

Hidup dengan Seorang Pecandu: Ketika Narkoba Menghancurkan Semuanya

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (sumber foto : gakbasi.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi (sumber foto : gakbasi.com)"][/caption] "Udah deh!  Lu nggak usah nasehatin gue!"

Teriakan murka klien saya saat itu cukup mengejutkan orang-orang yang ada di ruang editing.  Terlihat dia sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon.

"Pokoknya lu jangan main-main.  Lu udah bikin repot gue, gue juga bakal bikin lu repot!"

Saya masih belum bisa menduga apa yang jadi sebab klien saya itu begitu murkanya. Belakangan klien saya itu bercerita bahwa tadi dia berbicara dengan sepupunya.  Menurut ceritanya, si sepupu itu sudah melarikan uang perusahaan.

"Bayangkan Mas, dia nemuin klienku pake nama perusahaanku.  Klien sudah ngasih DP tapi dia nggak bilang-bilang.  Nah kita kan kaget waktu ditegur klien soal ordernya yang belum nyampe-nyampe" begitu katanya.

Usut punya usut, ternyata sepupu klien saya tersebut seorang pecandu narkoba sejak lama, dan kini klien saya itu dalam posisi sulit karena si pemberi order mengancam akan melaporkan perusahaannya dengan tuduhan penipuan, sementara si sepupu tidak merasa bersalah atas tindakannya. Mendengar cerita klien tersebut, saya jadi teringat sepupu saya.  Dia seorang seniman serba bisa yang memiliki banyak talenta, pun dia berasal dari keluarga berada.  Sepupu saya itu memiliki seorang istri dan dua orang anak.  Pendek kata, dilihat dari sisi manapun dia menjalani kehidupan yang baik dan bahagia. Sampai suatu saat sepupu saya itu jatuh dalam jerat narkoba. Sering ketika pulang kerja dini hari, saya melihat sepupu saya di dalam rumah bersama teman-temannya (laki-laki dan perempuan), mereka sedang dalam kondisi fly.  Oya, masa-masa awal di Jakarta saya memang menumpang di rumah Budhe saya dari pihak (alm) Ibu. Kembali ke topik, narkoba yang sering saya lihat saat itu kalau tidak salah berbentuk pil warna biru dan dan kuning (inex alias ekstasi mungkin, saya juga tidak tahu pasti), kemudian sabu-sabu yang sering diistilahkan sebagai "SS" lengkap dengan bong-nya, ada lagi narkoba entah apa yang pemakaiannya menggunakan jarum suntik, dan narkoba yang ditaburkan di punggung tangan untuk kemudian dihirup. Jika sudah begitu mereka sering nyanyi-nyanyi.

Bayangkan saja, nyanyi-nyanyi dengan suara keras di pagi buta.

Ketika Sudah Kecanduan

Sungguh bukan isapan jempol jika seorang pecandu bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan zat adiktif tersebut, itu juga yang terjadi pada sepupu saya.  Satu demi satu barang-barang di rumahnya dijual - terkadang dengan harga tidak masuk akal - untuk memenuhi kecanduannya akan narkoba. Pada awalnya barang-barang yang dijual adalah barang-barang yang lazim dan pantas dijual seperti TV, kulkas, dan perangkat elektronik lainnya.  Ketika sudah tidak ada lagi barang yang bisa dijual, mulailah sepupu saya menjual barang-barang yang tidak masuk akal seperti telepon rumah, teralis, kasur, bahkan pintu rumah dan pintu pagar! Istrinya akhirnya membawa anak-anak meninggalkan sepupu saya yang semakin hari semakin parah tingkat kecanduannya.  Sayang sekali, narkoba sudah terlalu kuat mencengkeramkan kukunya pada sepupu saya sehingga dia terlihat cuek saja ditinggal istri dan anaknya. Pada akhirnya barang-barang di rumah orangtuanya juga tidak luput dari tangannya, dijual untuk memenuhi kebutuhannya akan narkoba.  Sepupu saya bahkan sudah berani masuk kamar siapapun di rumah tersebut untuk mencari uang yang bisa dicuri atau barang yang bisa dijual! Satu pemandangan mengerikan buat saya dan takkan terlupakan adalah ketika dia melenggang bebas di dalam rumah dengan jarum suntik masih menancap di punggung tangannya.  Sungguh begitu merusaknya pengaruh narkoba. Bertahun-tahun kemudian saya mendapat kabar bahwa sepupu saya itu meninggal dunia, dan bahkan saya termasuk seseorang yang menyambut jenazahnya di liang lahat sekitar 10 tahun lalu.  Sungguh, buat saya pribadi dia adalah kakak sepupu yang paling saya hormati dan sayangi karena memiliki banyak sifat baik dalam dirinya - terutama kejujuran dan egaliternya.  Anak-anaknya bahkan tetap mencintai sang ayah, hal itu terbaca dari status-status facebook mereka.

Saya yakin sepupu saya bisa saja menjadi seorang seniman besar di kemudian hari dengan keluarga yang bahagia dan orang-orang yang menyayanginya.

Sayang, narkoba sudah menghancurkan semuanya.

Hanya Sharing Pengalaman

Tulisan ini hanya merupakan refleksi dan sharing pengalaman sekaligus merupakan peringatan pada diri sendiri dan kita semua agar ketika hidup terasa sulit atau ketika kita sedang berada di puncak teratas kehidupan, jangan jadikan narkoba - apapun namanya - sebagai pelarian dan sahabat.  Harga yang harus kita bayar untuk bersahabat dengannya sangat besar, bahkan terlalu besar.  Sudah banyak contoh yang didapat, bukan dari orang jauh, melainkan dari orang dekat.

In memoriam my cousin, rest in peace.  You're still a nice person.

Tulisan ini masuk kategori “Serba-Serbi” dan dipublish pertamakali di www.ketikketik.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline