Lihat ke Halaman Asli

Ryan M.

TERVERIFIKASI

Video Editor

Faiz & Aida #2: Rumah Bercat Kuning

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14049856131914726838

Cerita Sebelumnya :

Faiz, Aida, dan Mina adalah sahabat karib.  Faiz dan Mina adalah teman sepermainan sejak kecil, sementara Aida berasal dari kota.  Setiap tahun sejak mereka berusia 13 tahun, Aida selalu menghabiskan bulan Ramadhan di desa tempat Faiz dan Mina tinggal.  Namun sudah dua tahun ini Aida tidak datang, dan hal ini membuat Faiz berkeinginan untuk menyusul Aida dan kuliah di Jakarta.


CHAPTER 2


“Aku nggak bisa ngelarang kamu untuk kuliah di kota karena itu mimpimu.  Tapi aku minta kamu jangan lupa sama obrolan orangtua kita dulu.”

Aku terdiam sejenak mendengar ucapan Mina barusan.


“Oh, soal itu...” gumamku.

Nampaknya Mina melihat ekspresi wajahku yang langsung berubah, karena itu dia buru-buru mencairkan suasana,


“Ah sudahlah, Faiz.  Nggak usah dipikirin dulu, lagipula kita masih muda 'kan?  Kita masih punya banyak waktu.”

Tepat pada saat itu beduk Maghrib berkumandang di seantero desa sebagai penanda tiba saatnya berbuka puasa.


“Alhamdulillah...” ujar Mina, “Nah Faiz, sudah masuk buka puasa.  Aku pulang dulu.”

* * *

Jakarta, 1 tahun kemudian...

Aku termenung di kamar kosku.  Setiap tahun di bulan puasa, entah kenapa aku selalu teringat masa kecilku bersama teman-teman sepermainan – terutama Mina dan Aida.


Aida, kamu di mana sekarang?  Apa kabarmu?

Aku sungguh naif sewaktu mengira bisa menemukan Aida dengan mudah di Jakarta.  Jakarta ternyata kota yang luasnya di luar bayanganku.  Sepertinya aku harus mengubur mimpiku menemui Aida.  Aku tak punya petunjuk sedikitpun tentang keberadaannya.

Ponselku berdering pendek.  SMS dari Mina.


“Faiz, di Jakarta sudah masuk waktu berbuka ya?  Selamat buka puasa ya, jangan lupa baca doanya dulu, masih inget ‘kan?  Seperti biasa, di sini aku harus nunggu sekitar 5 menit lagi.”


“Oya Iz, nanti kita ngobrol-ngobrol sebentar ya?  Bisa?”

Aku tersenyum dan membalas pesan tersebut,


“Boleh.  Habis taraweh?”


“Ya.”

* * *


”Kamu serius?!"  Aku nyaris tak percaya mendengarnya.

Usai shalat tarawih aku langsung menelepon Mina, dan ternyata ia membawa kabar yang membangkitkan asaku untuk menemui Aida.


“Ya,” terdengar suara Mina di ujung telepon, “Tadi aku denger ayahnya Aida nelpon bapak.  Langsung aja aku minta bapak nanyain di mana alamat mereka sekarang.  Mau kamu catat?”


“Pasti!”  Aku berseru kegirangan, “Sebentar, aku ambil kertas sama pulpen dulu.  Jangan ditutup telponnya.”

Dengan kertas yang seketemunya, aku kemudian mencatat alamat yang diberikan Mina padaku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline