Lihat ke Halaman Asli

Ryan M.

TERVERIFIKASI

Video Editor

Faiz & Aida #6 : Perjodohan

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1406282152706468867

Cerita Sebelumnya :

Gagal menemui Aida di Cimahi, Faiz diberitahu bahwa Aida sekarang bekerja di Semarang.  Faiz juga akhirnya mendapatkan nomor ponsel Aida dari Lia.  Dalam perjalanan pulang kampung ke Tegal, Faiz sempat melihat Aida di Stasiun Besar Cirebon, saat itu Aida rupanya sedang dalam perjalanan dari Semarang ke Cimahi.  Dengan waktu yang sempit, Faiz berusaha mengejar kereta yang membawa Aida, namun gagal.  Dan Faiz makin putus asa ketika nomor ponsel Aida yang didapatnya dari Lia hilang.


CHAPTER 6

Peristiwa yang terjadi di Stasiun Besar Cirebon beberapa hari lalu sudah meluruhkan semangatku untuk menemui Aida.  Aku merasa ada tangan tak terlihat yang menghalangiku untuk menemui Aida.

Matahari sore itu bersinar cerah dan aku menikmatinya dengan bersantai di teras.


Pulang kampung selalu terasa menyenangkan.

Aku melihat Bapak sedang mengelap motor kesayangannya, motor buatan tahun 1993 yang usianya bahkan lebih tua dibanding usiaku.  Sementara Ibu masih sibuk di dapur mempersiapkan makanan untuk berbuka puasa sambil mendengarkan lagu kesukaannya, “Matahariku” yang dibawakan Nike Ardilla.  Aku tersenyum, entah kenapa saat ini lagu tersebut terasa sangat pas di telingaku.

Di seberang sana, terlihat rumah Mina.  Sepertinya sedang banyak tamu di rumahnya.


“Mina gadis yang baik,” tiba-tiba Bapak membuka mulut sambil tetap mengelap motornya.

Aku mengangguk.


“Tapi Aida juga gadis yang baik,” sambung Bapak.  Sepertinya bermaksud menyemangatiku.


“Tapi sepertinya Faiz susah sekali mau ketemu dia.  Faiz sudah ketemu Om Wid, ternyata Aida ada di Cimahi.  Begitu Faiz ke Cimahi, ternyata Aida ada di Semarang.”

Dan aku teringat lagi kejadian di Stasiun Besar Cirebon.

Bapak tertawa, mungkin karena sudah berkali-kali aku menceritakan hal tersebut padanya selama kepulanganku ini.


“Ya sudah, sudah hampir buka puasa.  Lagipula habis ini Bapak sama Ibu mau ngobrol soal perjodohanmu sama Mina.”

* * *

Malam itu usai Shalat Tarawih, aku menemui Mina.


“Tamu-tamunya sudah pada pulang?” tanyaku.

Mina hanya mengangguk.  Kami berdua kemudian duduk di teras depan rumahnya, menikmati suasana malam.


“Jadi... akhirnya yah,” ujarku membuka pembicaraan.


“Ya...” sahut Mina, “Akhirnya...”

Kami berdua bicara soal perjodohan yang diutarakan orangtua kami masing-masing saat kami masih kecil.


“Kamu nggak merasa terpaksa ‘kan?”


“Nggak lah, Iz.  Mana mungkin?  Toh ini juga murni perasaan dari dasar hatiku.”

Aku tersenyum,


“Baguslah kalau seperti itu.  Aku juga bakal ngerasa bersalah kalau kamu mau menikah nanti karena terpaksa.”

Mina tertawa,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline