Lihat ke Halaman Asli

Ryan M.

TERVERIFIKASI

Video Editor

Ngoyo Cari Uang? Nggak Salah Kok (Tulisan Narsis)...

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (sumber foto : asetbisnis.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi (sumber foto : asetbisnis.com)"][/caption]

Saya tertawa geli (tentu dalam hati) ketika dalam sebuah pertemuan saya dijadikan contoh sebagai seseorang yang sudah sukses.  Namun jauh dari dasar hati, saya sangat menghargai pendapat tersebut dan menganggapnya sebagai sebuah doa sehingga saya mengaminkannya.

Tapi satu yang ‘mengusik’ saya adalah ketika saya disebut-sebut sudah nggak ngoyo dalam mencari uang – apalagi si pembicara membandingkan dengan dirinya sendiri yang masih harus bekerja sesuai lagunya bang Rhoma Irama, “Begadang”.

Cerita Masa Lalu

Pernyataan tersebut membawa ingatan saya kembali ke masa sekolah – masa ketika keluarga kami berada di titik nadir kehidupan.  Setelah merasakan nikmatnya hidup sebagai anak dari keluarga kelas menengah-atas, roda nasib membawa kami hidup sebagai orang susah.  Ya, benar-benar susah!

Jika di masa SD saya dibekali uang saku sebesar Rp 500 (mungkin sekitar Rp 15.000 saat ini), maka bertahun-tahun kemudian saat SMEA uang saku saya turun drastis menjadi Rp 150 (mungkin sekitar Rp 5.000).

Sekadar informasi, uang segitu cuma cukup untuk satu kali naik angkot dan beli satu buah lontong, padahal kondisi idealnya jelas :

  1. Berangkat sekolah naik angkot,
  2. Jajan untuk istirahat pertama,
  3. Jajan untuk istirahat kedua,
  4. Pulang sekolah naik angkot.

Tapi dengan uang segitu, jelas harus ada yang 'dikorbankan' yaitu :

  1. Kalau berangkat naik angkot, jelas pulangnya nggak bisa naik angkot.  Jajan juga cuma sekali.
  2. Kalau pulang naik angkot, jelas berangkatnya nggak bisa naik angkot.  Jajan juga cuma sekali.
  3. Kalau mau bisa jajan dua kali, jelas berangkat dan pulang sekolah nggak naik angkot.

Jadi begitulah tantangan sehari-hari saya sebagai seorang remaja berumur 15 – 18 tahun.

Cara Mengatasinya

Yang lebih sering dilakukan biasanya saya berjalan kaki saat berangkat sekolah (jarak dari rumah ke sekolah sekitar 3-4 kilometer, ditempuh dengan jalan cepat sekitar 30 menit).

Ketika jam istirahat pertama sekitar jam 9, biasanya saya nggak jajan karena belum merasa lapar.  Di jam itu saya biasanya ngobrol sama teman-teman atau ‘kabur’ ke perpustakaan.

Nah, di jam istirahat kedua, saya baru jajan, itupun masih harus berhemat karena masih harus menyisakan uang untuk naik angkot pulang sekolah.  Yang sulit, dengan uang Rp 50 saya harus memilih beli lontong untuk mengobati lapar atau beli minuman untuk mengobati haus.  Biasanya saya lebih memilih beli es seharga Rp 25 karena kalau beli makanan, otomatis saya harus beli minuman biar nggak seret hehehe...

Tapi karena lapar, kadang ya sudah saya beli makanan dan minuman.  Kalau sudah seperti itu jelas saya nggak bisa pulang naik angkot karena sisa uangnya kurang.

Jika sudah begitu, apa yang bisa saya lakukan?

Pilihannya cuma dua :

  1. Pulang sekolah jalan kaki lagi di tengah panas terik, atau
  2. Pulang bareng teman (naik sepedanya).

Bicara soal pulang naik sepeda teman, jangan dikira saya yang bonceng ya.  Saya selalu menawarkan diri untuk menggenjot sepedanya sampai di satu tempat, sementara si pemilik duduk saja di boncengan.  Jika beruntung, saya bisa bareng sama teman yang kebetulan rumahnya satu arah dengan saya, tapi jika pun saya membonceng teman yang lain ya tidak masalah, setidaknya lumayanlah mengurangi jarak saya berjalan kaki hehehe…

Begitu seterusnya setiap hari selama 3 tahun masa SMEA saya.

Pengalaman yang Membentuk Saya?

Karena pengalaman masa remaja itulah saya memiliki keinginan kuat untuk menjadi orang yang ‘punya uang banyak’.  Saya ingin bisa melakukan segala sesuatu dengan uang – minimal bisa membeli makanan tanpa harus risau dengan harganya.

Saya harus mencari uang - bahkan jika saya harus ngoyo untuk mendapatkannya!

Tentunya ngoyo di sini bukan berarti kita harus mencari uang sampai berdarah-darah memaksakan diri dan mengorbankan banyak hal dalam hidup.  Ngoyo versi saya adalah jika kita masih melihat kemungkinan mendapatkan uang secara halal, maka lakukan – selama kita masih kuat untuk melakukannya karena terkadang beda antara ‘tidak mampu’ dan ‘tidak mau’ itu tipis.

Ngoyo versi saya adalah jangan cepat merasa puas dengan apa yang sudah kita dapat, kita harus berupaya mendapat yang lebih.

Karena ke-ngoyo-an itu, ketika perusahaan tempat saya dulu bekerja sedang kesulitan keuangan dan tidak bisa menaikkan gaji karyawannya selama bertahun-tahun, saya lebih memilih untuk mencari penghasilan tambahan dengan bekerja rangkap di sebuah rumah produksi.  Konsekuensinya, 14 jam waktu saya digunakan untuk mencari uang.  Cerita soal ini akan saya tulis lain kali.

Tapi ngomong-ngomong, inti tulisan ini apa sih sebenarnya?

Definisi :

ngoyo /ngo·yo/ v memaksakan diri melakukan sesuatu tanpa mempertimbangkan kemampuan, kondisi, dan waktu : Presiden meminta kpd perajin rotan agar tidak -- melakukan ekspor kalau belum memiliki kemampuan untuk itu

Tulisan ini masuk kategori “Selfish” dan dipublish pertamakali di www.kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline