Lihat ke Halaman Asli

Ryan M.

TERVERIFIKASI

Video Editor

Selingkuh dan Komitmen Pernikahan (Sebuah Pelajaran dari Pengalaman Seorang Kawan)

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah Pelajaran Hidup (sumber gambar : withoutahitch.co.uk)

[caption id="" align="aligncenter" width="476" caption="Sebuah Pelajaran Hidup (sumber gambar : withoutahitch.co.uk)"][/caption] Dua hari ini saya membaca tulisan permasalahan yang dialami Mas Bhre (tulisan selengkapnya ada di sini dan di sini).  Intinya, Kompasianer rekan kita ini sedang dalam posisi dilematis akibat ulah kawannya yang kabur usai menghamili seorang perempuan yang dikenalnya lewat chatting. Dilematis? Ya, di satu sisi dia ingin membantu si perempuan untuk menuntut pertanggungjawaban kawannya, tapi di sisi lain Kompasianer kita ini mengenal istri kawannya tersebut.  Dan seandainya istri kawannya tersebut tahu ulah suaminya, entah apa yang akan terjadi. Posisi Mas Bhre ini membuat saya teringat kejadian sekitar 4 tahun lalu.

Dari Perkenalan Berlanjut ke Hotel

Seorang kawan saya (sudah beristri dan mempunyai anak) suatu hari berkenalan dengan seorang perempuan. Perkenalan itu berlanjut hingga akhirnya hubungan mereka semakin dekat dan dekat.  Kedekatan itu pada akhirnya berubah menjadi hubungan asmara antara keduanya, semakin lama semakin dekat hingga akhirnya keterusan dari satu hotel ke hotel lainnya.  Saya tahu cerita itu soalnya kami dulu satu tim dalam sebuah pekerjaan, dan dia beberapa kali meninggalkan pekerjaannya untuk menemui ‘pacarnya’ dan kembali berjam-jam kemudian dengan senyum sumringah dan wajah puas. Saya tidak ingat berapa lama persisnya mereka menjalani hubungan tersebut, yang jelas suatu hari kawan saya bercerita pada ‘pacarnya’ itu terlambat datang bulan.

“Terus?” tanya saya. “Gua ‘hajar’ keras-keras.  Perutnya juga gua tekan, terus doi juga minum jamu.” Astaghfirullah, batin saya. “Berapa hari kemudian dia mens,” lanjut kawan saya.

Saya tak bisa membayangkan bagaimana perasaan istrinya andai tahu bagaimana kelakukan suaminya di luaran.  Meski menurut saya pribadi istri kawan saya tersebut juga bukan tipe istri yang asik menurut kacamata laki-laki manapun karena sifatnya yang sangat posesif dan mengekang suaminya, tak sepatutnya seorang laki-laki beristri mencederai komitmen dalam berumah-tangga. Dalam hati saya selalu berdoa agar keluarga kami dijauhkan dari hal-hal seperti itu. Kembali ke kawan saya. Suatu hari saya dikenalkan dengan perempuan itu.  Cantik, mungil, berkulit putih, dan masih muda.  Semua hal yang membuat imajinasi liar seorang laki-laki ada pada diri perempuan tersebut, sementara kawan saya memang sudah berusia hampir 40 tahun, masa-masa yang - kata orang - puber kedua bagi seorang laki-laki, apalagi istrinya berada di kisaran usia yang hampir sama dengannya.

Seorang laki-laki matang dengan istri yang umurnya tidak terpaut jauh, bertemu seorang perempuan muda yang daya tariknya masih memancar sempurna.  Klop.

Kesalahan Saya

Semakin hari hubungan mereka semakin intens.  Kawan saya juga semakin sering menceritakan perangai buruk istrinya.  Sebagai kawan, awalnya saya menyarankan padanya untuk menyudahi saja hubungan dengan perempuan itu.

“Tapi dia nangis-nangis nggak mau pisah sama gue,” tampik kawan saya. Aduh.

Hingga akhirnya suatu hari kawan saya itu mengatakan satu hal,

“Dia hamil dua bulan."

Saya sudah nggak tau lagi harus gimana.  Di hadapan saya ada seorang laki-laki yang mulai meruntuhkan fondasi rumahtangganya dan menghamili seorang perempuan, sementara dulu saya dididik bahwa seorang laki-laki tidak boleh lari dari tanggung jawab.

Sudah terlanjur. “Nggak ada pilihan lain,” kata saya, “Lu harus tanggung jawab dan nikahin dia.”

Ucapan yang di kemudian hari membuat saya merasa sangat bersalah.  Tapi menurut saya tidak ada jalan lain saat itu.  Bayi di kandungan si perempuan tidak pantas menanggung akibat dari ulah orangtuanya yang belum resmi menikah.  Dia sudah bernyawa. Mereka kemudian menikah secara siri tanpa sepengetahuan istri pertama.  Saya diminta menjadi saksi, namun saya menolak dengan berbagai alasan. Saya merasa sangat bersalah.

Tuhan, jauhkan saya dari hal-hal seperti ini.

Tahun demi tahun berlalu.  Kabar yang saya dengar, pernikahan siri itu akhirnya diketahui istri pertama kawan saya tersebut yang kemudian menuntut cerai dan minta pembagian harta gono-gini.  Proses persidangan berlangsung lama sekitar 6 bulan karena masalah hak asuh anak.  Dan kawan saya akhirnya menikah untuk yang ketiga kalinya karena istri keduanya pun menceraikan dia saat hartanya habis dan usahanya bangkrut. Dari peristiwa yang terjadi pada kawan saya itu, saya memetik sebuah pelajaran penting :

“Manusia memang tidak ada yang sempurna – termasuk pasangan kita.  Jika kita sudah tidak sanggup memaklumi kelemahan pasangan kita, maka akhirilah komitmen pernikahan.  Namun jika tidak sanggup mengakhiri komitmen pernikahan, maka belajarlah untuk lebih memaklumi kelemahan pasangan meski harus berlangsung seumur hidup.”

Maaf jika ada kalimat yang tidak berkenan, selamat siang dan selamat beraktivitas. Tulisan ini masuk kategori “Relationship” dan dipublish pertamakali di www.kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline