Hai, perkenalkan saya Ryan. Saya adalah individu yang dilahirkan pada tahun 1999. Masa kecil saya dipenuhi dengan kenangan musik 90s yang menurut saya pribadi sangat nyaman untuk didengar. Saya termasuk penggemar musik jazz dan pop. Sejak berusia 4 tahun, paman saya selalu memperdengarkan musik-musik 90s yang membuat saya menyukainya hingga saat ini. Saya akan berbagi pengalaman masa kecil saya, saat mendengar beberapa musik 90s untuk pertama kalinya.
Harmonika adalah alat musik yang sangat unik. Benda berbentuk kotak dengan beberapa lubang kecil di sisi sampingnya. Ketika ditiup, keluarlah alunan yang sangat memikat telinga. Apakah anda mengetahui, darimana saya mengenal alat musik itu? Jika tidak, biar saya ceritakan.
Saya mengenal alat musik harmonika dari seseorang bernama Bento. Ia adalah sosok penyanyi yang saya kagumi saat itu. Ia memiliki rumah real estate (yang bahkan tidak saya pahami apa artinya). Ia tampan. Memiliki banyak harta, banyak mobil dan banyak simpanan (apa lagi arti kata ini?!). Tentu saja, ia adalah seorang bos eksekutif, tokoh papan atas. Sosok yang ingin saya capai ketika sudah besar nanti.
"Saya ingin menjadi seperti Om Bento!" Begitulah harapan yang saya utarakan, saat meniup lilin ulang tahun kelima saya. Sontak, seiisi ruangan menertawakan harapan bocah yang baru menginjak usia 5 tahun itu. Karena kesal, saya pun menangis. Ayah menghampiri dan berusaha memberitahu bahwa Bento yang sering saya dengarkan adalah sebuah judul musik, bukanlah sosok sungguhan. Tetapi, bocah 5 tahun itu pun, tetap menyangkal. Ia begitu percaya dengan segala hal yang ia dengarkan dengan telinganya sendri.
Kisah ini selalu membuat saya tertawa malu, ketika diceritakan kembali saat acara kumpul-kumpul keluarga. Musik yang dinyanyikan dengan penuh penghayatan oleh seorang Iwan Fals, membuat balita ini percaya dengan segala hal yang dilontarkan penyanyi itu. Percaya bahwa ia adalah Bento dengan segala kehebatannya.
Beranjak dewasa, saya pun mulai memahami arti musik Om Bento ini. Sungguh, suatu pesan yang nyata dan sarkastik, namun dapat diterima oleh masyarakat luas. Pengiringan lagu oleh grup musik Swami ini sangatlah menarik. Bahkan hingga saat ini, saya masih senang mendengarkannya. Bento mengajarkan saya akan pentingnya menjunjung keadilan, dan tentu saja, tidak mudah percaya dengan perkataan orang lain yang berlebihan.
Masih dari album yang sama. Wo o ya o ya o ya bongkar... Saat mendengar lirik lagu ini, saya dapat merasakan energi yang sangat besar dari seorang Iwan Fals. Energi untuk menghentikan segala keresahan yang mungkin saat itu ia rasakan. Musik yang akan selalu menjadi sorakan dari zaman ke zaman. Tidak akan terlupakan oleh waktu.
Ya, itulah musik dengan judul "Bongkar". Suatu karya hebat oleh grup musik Swami, yang dirilis pertama kali pada tahun 1989. Petikan gitar, bass dan perkusi diawal musik, sangatlah membangun suasana pendengar. Membawa pendengar kedalam pesan keadilan yang perlu diperjuangkan. Lagu dengan pesan yang cukup berat untuk seorang bocah 5 tahun. Namun dengan alunan nadanya saja, saya dapat paham bahwa penyanyi ini sedang marah. Begitulah yang saya pikirkan saat pertama kali mendengarnya. Saat itu saya sedang duduk di ruang tamu. Bermain dengan sebongkah kereta api mainan, dengan cerobong berwarna merah. Paman saya menyalakan televisi untuk menonton konser Iwan Fals, dan itulah pertama kalinya saya mengenal sosok pejuang. Pejuang dengan karya dan hati. Sosok yang menakjubkan di mata anak kecil saya.
Sekolah merupakan masa-masa yang indah. Saat itu, saya diantar ke sekolah oleh ibu saya menggunakan bajaj. Entah mengapa, namun suasana di bajaj yang berguncang-guncang, sangatlah menyenangkan bagi saya saat itu. Bisa dibilang, saya hobi untuk naik bajaj. Namun hal itu tidak berlangsung lama, setelah saya mendengarkan lagu dari grup musik Koes Plus. Dengan celana cutbray khasnya, mereka menyanyikan lagu yang judul "Bis Sekolah". Suatu transportasi yang baru pertama kali saya dengar, dan menarik untuk saya coba saat kecil. Namun, saat itu, saya tidak bisa menaiki bis sekolah yang khas dengan warna kuningnya, dikarenakan lokasi rumah saya yang sangat jauh dari tempat pemberhentian bis sekolah. Musik khas dari Koes bersaudara ini cukup memberikan warna dalam keseharian masa kecil saya. Saya menjadi mengetahui apa itu kekasih. Sesuatu yang menyenangkan dan indah di telinga anak kecil saya. Walaupun dalam realitanya, berpasangan itu jauh lebih kompleks dan perlu kematangan. Bukan hanya sekadar teman untuk menaiki bis sekolah.
Setelah membicarakan The Beatlesnya Indonesia, kurang afdal jika tidak membicarakan The Beatles itu sendiri. Lagu "Hey Jude" menjadi musik pertama yang saya dengarkan dari grup band ini, ketika saya duduk di bangku sekolah dasar. Saya yang saat itu belum terlalu paham bahasa inggris, merasakan bahwa "Hey Jude" adalah lagu yang sedih. Namun, setelah mencoba mendalaminya, menurut saya musik ini menceritakan mengenai usaha suatu individu agar tetap teguh dalam menghadapi masalah. Bersedih itu wajar, namun jangan berlarut, sebab jam dinding tidak akan menunggumu selesai bersedih. Jangan terlalu membebani diri sendiri. Kurang lebih, itu yang saya tangkap dari pesan lagu ini.
Dengan alunan piano yang lambat, dipadukan dengan gitar, bas, drum dan sedikit kecrekan, membuat "Hey Jude" memiliki ciri khas yang kental. "Hey Jude" sendiri telah menjadi maskot yang diingat sepanjang masa untuk The Beatles. Kenangan saya dengan lagu ini, sangatlah sederhana. Malam itu, saya bersama sepupu dan adik laki-laki saya, berkumpul untuk bernyanyi karoeke. "Hey Jude" merupakan lagu berbahasa inggris pertama yang dapat saya nyanyikan dengan lantang. Maka malam itu, kami pun menyanyikannya bersama. Na, na, na, na-na-na, na. Na-na-na, na. Hey Jude. Saya hanya dapat menyanyikan part itu. Bahkan hingga saat ini. Kenangan yang menyenangkan.