Lihat ke Halaman Asli

Kriminalisasi Tindak Pidana Pendanaan Terorisme di Indonesia (Undang-undang Nomor 9 Tahun 2013)

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Undang-undang Nomor 9 tahun 2013 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme berlandaskan beberapa alasan yang sangat fundamental bagi Indonesia, yaitu salah satu bagian dari pembukaan/ preambule Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menyebutkan bahwa salah satu tujuan Indonesia adalah “.......melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial....” artinya bahwa keterlibatan Indonesia di dalam memerangi segala sesuatu yang bertentangan dari isi pembukaan tersebut adalah mutlak untuk dilakukan. Terlebih apabila hal tersebut menjadi ancaman yang serius bagi Rakyat Indonesia beserta kedaulatan negara ini. Dasar dibentuknya Undang-undang ini bukan hanya karena keresahan terhadap banyaknya ancaman bom atau bentuk terorisme yang lainnya seperti kejadian akhir-akhir ini.

Selama ini pendekatan yang digunakan oleh aparat penegak hukum kita masih terbatas pada bagaimana mengejar pelaku (follow the suspect) sehingga dapat dijatuhi hukum sesuai peraturan perundang-undangan. Tentu dengan pendekatan follow the supect tidak membuat perbuatan atau kegiatan teror ini berhenti, karena jaringan yang begitu luas dan tersembunyi membuat eksistensi mereka terjaga. Bila dikaitkan dengan pertanyaan mengapa kegiatan teroris tersebut masih berjalan disaat para pelaku atau pimpinannya sudah ditangkap satu per satu?

Jawaban yang sederhana yang muncul adalah karena pendanaan terhadap aktifitas teroris itu masih mengalir dan mendanai setiap rancangan aksi teror tersebut. Teror seperti yang diketahui bahwa merupakan bagian dari kejahatan yang terorganisasi (organised crime) yang memiliki jaringan luas. Mereka tidak hanya menyediakan para pelaku yang siap secara sukarela meledakan diri, namun juga mereka yang menyediakan dana sebagai pembiayaan pembelian bahan peledak, senjata, penyewaan markas atau persembunyian dan biaya operasional lainnya.

Karena terorganisasi dengan baik secara global atau lintas batas negara, maka pendekatan follow the suspect tidak lagi menjadi sesuatu yang efektif untuk mencegah dan menindak para pelaku yang terlibat dalam kegiatan terorisme. Mulai dari aktor intelektual, penyandang dana, hingga pelaku dilapangan. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2013 ini menjadi salah satu upaya negara melindungi warga negara dan kedaulatannya dari tindakan terorisme, dengan cara mencegah pendanaan terorisme itu sendiri, khususnya yang melalui penyedia jasa keuangan seperti bank, lembaga pembiayaan, perusahaan asuransi, perusahaan pialang, dana pensiun lembaga keuangan, perusahaan efek, kustodian, manajer investasi, perposan sebagai penyedia jasa giro, pedagang valuta asing, penyelenggara alat pembayaran kartu, penyelenggara e-money atau e-wallet, koperasi simpan pinjam, pegadaian, perusahaan berjangka komoditas, dan/atau perusahaan penyedia jasa peniriman uang.

Upaya Indonesia untuk mengkriminalisasi pendanaan terorisme ini juga dilandasi atas diratifikasinya International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism 1999 (disahkan menjadi Undang-undang Nomor 6 tahun 2006 tentang ratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism 1999 ), sehingga Indonesia berkewajiban untuk memasukan dan mensinkronisasi element di dalam konvensi tersebut pada hukum positif yang terkait. Sebelum undang-undang ini dibentuk, Indonesia sudah sejak jauh hari mengaturnya dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284, namun dianggap belum cukup untuk mencegah aliran pendanaan kegiatan terorisme tersebut.

Pendekatan yang ada di dalam Undang-undang ini adalah follow the money dengan maksud agar kegiatan terorisme ini tidak dapat menjalankan rencana-rencananya untuk melakukan teror itu sendiri. Pergeseran pendekatan untuk memberantas tindak pidana terorisme ini dikarenakan telah terjadi banyak fenomena yang ditemukan saat dilakukannya penyelidikan terorisme itu sendiri, salah satunya adalah sumber-sumber dana yang sangat besar datang dari akun rekening yang tidak dikenal atau dikirimkan oleh pihak-pihak yang diduga menjadi penyandang dana utama teroris tersebut. Menurut Prof. Bill Tupman, seorang Pakar Kriminologi Australia, menyebutkan bahwa pasca tragedi teror Gedung WTC di Amerika, telah disita jutaan US Dollars. Maka banyak pakar lain yang juga setuju bahwa pencegahan terorisme dimulai dari bagaimana memutus aliran-aliran dana tersebut.

Undang-undang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme di dalam BAB I nya menjelaskan berbagai macam definisi dari tiap istilah-istilah yang digunakan untuk menyamakan pemahaman umum dari keseluruhan substansi yang akan dibahas. Definisi pendanaan terorisme ini harus dipahami dari dua sudut vital pendanaan itu sendiri, pertama pendanaan untuk operasional kegiatan terorisme itu sendiri kemudian pendanaan penyebaran ideologi dan /atau infrastruktur jaring-jaring kelompok terorisme itu sendiri. Pendanaan terorisme dapat dilakukan melalui beberapa metode. Metode pertama melalui sektor keuangan formal seperti perbankan dan/atau penyedia jasa keuangan bukan bank. Kedua, perdagangan internasional yang dilakukan secara sah dan jamak terjadi pada sektor tersebut. Mereka dapat memperoleh dana dari hasil berjualan barang-barang elektronik, kebutuhan pokok, atau barang-barang lain yang memang legal dapat diperjualbelikan. Ketiga melalui kegiatan keuangan tradisional/ alternatif seperti Hiwala di India yang menyediakan jasa penitipan uang secara tradisional tanpa masuk ke dalam sistem perbankan konvensional. Terakhir yang diawal tahun 2000an banyak terungkap adalah menggunakan modus donasi organisasi amal atau yayasan amal. Di Amerika hal ini pernah terjadi karena untuk organisasi non-profit tidak perlu mendaftar dan melaporkan kegiatannya, sehingga pengawasan aliran dana masuk dan keluar sulit dijangkau oleh otoritas.

Undang-undang ini berlaku kepada setiap setiap orang yang berniat melakukan atau melakukan tindak pidana pendanaan terorisme di wilayah kedaulatan Negara Republik Indonesia dan/atau di luar wilayah kedaulatan Negara Republik Indonesia. Dan dapat juga berlaku bagi dana yang terkait pendanaan terorisme di wilayah kedaulatan Negara Republik Indonesia dan/atau di luar wilayah kedaualatan Negara Republik Indonesia. Artinya undang-undang ini dapat diberlakukan kepada para pelaku pendanaan terorisme dan juga pada dana/ aset itu sendiri. Dijelaskan lebih lanjut mengenai unsur-unsur apa saja dan siapa saja yang disebut sebagai pelaku tindak pidana pendanaan terorisme dalam pasal 2.

Pelaku tindak pidana pendanaan terorisme tidak dapat menjadikan alasan motif politik sebagai dasar perbuatannya agar tidak dikenakan undang-undang ini. Artinya double criminality dijaga agar proses MLA dan lain-lainnya dapat diterapkan. Tidak diakuinya suatu tindak pendanaan teroris di suatu negara atau tidak samanya maksud/ tujuan pendanaan tersebut untuk terorisme atau bukan akan menyebabkan upaya ekstradisi, MLA, upaya diplomasi atau pendekatan agent to agent sulit dilakukan. Negara yang tidak mengakui tersebut, akan keberatan untuk mengekstradisi pelaku atau memberikan informasi komperehensif terkait dana-dana atau aset yang berada di dalam negara tersebut. Namun bagi negara-negara yang meratifikasi konvensi ini atau menjadikan pendanaan terorisme sebagai salah satu bagian dari tindak pidana, maka tidak bisa mengelak untuk membantu pemerintah indonesia melakukan upaya hukum penyidikan, penyelidikan, penuntutan hukum hingga mengambil suatu putusan  atasnya, selama ada dukungan pemerintah dan politik negara tersebut (political and government will)

Undang-undang ini mengatur di dalam pasal 4 bahwa “.....setiap orang yang sengaja menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan Dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud digunakan seluruhnya atau sebagian untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme, organisasi teroris, atau teroris...” menurut hemat saya, artinya secara hukum pidana, unsur kesengajaan ini menjadi salah satu hal penting karena dengan dapat dibuktikannya kesengajaan itu, maka unsur-unsur pasal 4 ini dipenuhi secara sempurna.

Pelaku yang terlibat di dalam permufakatan jahat, percobaan atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana pendanaan terorisme juga dikenakan ancaman hukuman sama dengan yang tertulis di dalam pasal 4. Namun berbeda bagi mereka sebagai aktor intelektual dalam pendanaan kegiatan terorisme itu sendiri, dikenakan ancaman selama 20 tahun sesuai pasal 6. Hal ini dapat diterapkan tentu apabila penuntut umum bisa membuktikan dakwaanya dengan syarat seluruh unsur pasal terpenuhi secara sempurna.

Lain halnya apabila pendanaan terorisme ini dilakukan oleh entitas hukum atau korporasi, maka ancaman dendanya sebesar Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliyar rupiah). Dakwaan kepada korporasi dapat dikenakan apabila dilakukan atau diperintahkan personel pengendali korporasi; dilakukan untuk memenuhi tujuan korporasi; dilakukan sesuai tugas dan fungsi pelaku; atau dilakukan personel pengendali dengan maksud memenuhi keuntungan korporasi. Hal ini diatur secara cukup jelas di dalam pasal 8.

Selain menerima sanksi denda dan ancaman hukuman atas personel pengendali korporasi, korporasi yang terlibat melakukan pendanaan terorisme juga bisa diancam dengan sanksi yang berat lainnya seperti :

a.Dibekukannya secara sebagian atau seluruhnya kegiatan korporasi tersebut;

b.Dicabut izinnya dan masuk ke dalam daftar korporasi yang terlarang;

c.Pembubaran korporasi;

d.Perampasan aset korporasi untuk negara;

e.Pengambilalihan korporasi oleh negara dan/atau;

f.Putusan pengadilan.

Dan apabila setelah putusan berkekuatan hukum tetap korporasi tidak dapat membayar sanksinya, maka aset korporasi dan/atau personel pengendalinya harus dirampas untuk negara. Kemudian apabila masih belum mencukupi, maka akan ada sanksi penjara bagi personel pengendalinya.

Di dalam undang-undang ini, seluruh aparat penegak hukum dan bagian intellijen keuangan atau PPATK dilarang untuk membocorkan informasi atau data-data terkait dengan dugaan aliran pendanaan terorisme yang mereka temukan. Hakim, jaksa penuntut, pejabat atau pegawai PPATK, penyidik dan/atau pihak yang memperoleh dokumen/informasi terkait dilarang untuk membocorkannya pada siapapun. Dikecualikan apabila memang hal tersebut dilakukan atas perintah undang-undang.

Hal ini berlaku bagi pihak penyedia jasa keuangan yang mengetahui data-data terkait nasabah yang dicurigai, maka mereka dilarang memberitahukan pada siapapun kecuali diperintahkan oleh undang-undang. Informasi-informasi yang dimaksud adalah informasi yang sedang atau telah disusun oleh PPATK untuk dilaporkan kepada aparat penegak hukum yang berwenang atas perkara tersebut, atau setidaknya menjadi permulaan diungkapnya suatu perkara pendanaan terorisme.

Perbankan di Indonesia telah memiliki suatu sistem untuk mengenali para nasabah-nasabahnya. Mulai dari sistem know your customer, customer due dilligence, enhanced due dilligence dan berakhir pada pendekatan risk based approach (pendekatan berlandaskan risiko). Prinsip-prinsip mengenal nasabah dilakukan oleh perbankan dalam rangka melindungi sistem keuangan, menjaga agar dana yang berputar dan dikelola oleh perbankan tidak tercampur dana-dana illegal dan haram.

Menurut pasal 29 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 bahwa perbankan wajib menjaga prinsip kehati-hatian seluruh kegiatan yang dilakukan oleh perbankan.

Di dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 Tentang Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer), PBI tersebut berisi mengenai bagaimana perbankan harus mengenali dan mencari tahu profil nasabah, khususnya mereka yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat ke dalam proses transaksi di dalam jasa keuangan. Kemudian di dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/28/PBI/2009 Tentang Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum mengatur bank Indonesia yang menggunakan pendeketan Costumer Due Dilligence yang mendalam, yang kita kenal sebagai Enhanced Due Dilligence sebagai upaya untuk mencegah tindak pidana pencucian uang. Maka kemudian peraturan yang mengatur hal tersebut diharapkan dapat mencegah para pelaku pendanaan terorisme melalui industri jasa keuangan, khususnya perbankan. Langkah-langkah teknis mengenali nasabah sebagai upaya preventif sudah dengan jelas oleh undang-undang ini jelaskan.

Penegak hukum berhak untuk melakukan terhadap dana-dana yang dicurigai secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan tindak pidana pendanaan terorisme. Tentu di dalam upaya pemblokiran, harus dimintakan penetapan pengadilan agar rekening dapat diblokir. Bagi mereka yang memiliki dana di bank, dan merasa ada keanehan dengan jumlah dana yang mereka miliki, baik itu bertambah atau berkurang secara mencurigakan dan tidak diketahuinya, maka harus melapor untuk berjaga-jaga bila mungkin dana tersebut dicampur atau digunakan sebagai dana terorisme. Bagi pihak ketiga yang merasa dana-dananya diblokir, dan merasa keberatan maka dapat mengajukan keberatan pada PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim. Pengajuan keberatan musti disertai bukti-bukti kuat yang membuktikan aset atau dana-dana tersebut sah dan legal.

Bagaimana seseorang atau kelompok dapat dikatakan sebagai teroris atau kelompok teroris? Hal-hal apa yang membuatnya dapat dikatakan demikian?

Undang-undang ini menjelaskan bahwa Kepala Polisi Republik Indonesia yang berhak mengajukan nama seseorang atau kelompok sebagai teroris. Dijelaskan bagaimana prosedur penetapan seseorang atau kelompok dalam daftar teroris yang ada di Indonesia. Ada dominasi mutlak yang diberikan kepada Kepolisian untuk menentukan siapa yang bisa atau tidak dikatakan sebagai teroris. Hal ini dikuatirkan akan menjadi suatu kewenangan yang disalahgunakan oleh kepolisian dimasa datang. Hal yang sangat mungkin kepolisian menjadikan pihak-pihak tertentu sebagai sasaran tuduhan sebagai teroris karena kepentingan-kepentingan di luar hukum. Harus ada pihak lain yang berkompeten untuk dilibatkan dalam pengajuan daftar teroris ini, agar terjadi saling mengamati dan memeriksa validitas informasi dan bukti yang dijadikan alas hukum menuduhkan seseorang atau kelompok sebagai teroris. Musti ada perlindungan hak asasi atas mereka yang mungkin saja menjadi salah sasaran atau informasi tentang kegiatan terorisme.

Status sebagai teroris atau kelompok teroris berlaku selama 6 (enam) bulan. Apabila kepolisian menginginkan untuk dilakukannya perpanjang, maka dapat diajukan ke pengadilan untuk diperpanjang hingga kasus tersebut terselesaikan. Namun perpanjangan hanya dapat dilakukan 2 (dua) kali, masing-masing 3 (tiga) bulan.

Pihak-pihak yang keberatan karena nama atau kelompoknya masuk sebagai salah satu teroris, maka dapat mengajukan keberatan disertai bukti-bukti sah untuk membuktikannya kepada pengadilan.

Undang-undang ini mengatur tentang pengawasan perpindahan uang atau aset melalui penyedia jasa keuangan atau secara fisik. Pengawasan yang diberikan adalah pengawasan transaksi melalui sistem transfer, pengawasan secara fisik yang dimungkinkan melewati Kepabean Indonesia, dan sistem lainnya. Apabila melalui sistem transfer maka pihak perbankan yang diawasi oleh Bank Indonesia. Sedangkan untuk sistem lainnya maka kegiatan tersebut diawasi oleh lembaga pengatur dan pengawas (LPP). Dan untuk perpindahan dana atau aset secara fisik maka dapat diawasi oleh kepabean Indonesia, karena dikuatirkan ada dana atau aset mencurigakan keluar dan masuk wilayah kepabean Indonesia.

Pada Undang-undang Nomor 9 Tahun 2013 dikenal sistem pemblokiran akun seseorang atau korporasi di dalam sistem penyedia jasa keuangan bank dan non-bank. PPATK, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim berwenang untuk melakukan pemblokiran dengan penetapan pengadilan Jakarta Pusat untuk memerintahkan penyedia jasa keuangan memblokir akun keuangan tertentu yang dicurigai merupakan bagian dari pendanaan terorisme.

Apabila ada pihak-pihak yang merasa keberatan atas pemblokiran rekening, maka dapat mengajukan keberatannya pada PPATK, penyidik, penuntut umum, dan hakim, paling lama 14 (empat belas) hari setelah diketahuinya ada pemblokiran.

Diketahuinya aset-aset atau dana-dana yang berada di luar yurisdiksi Indonesia, maka dibutuhkan upaya khusus untuk melalukan pemblokiran aset atau dana tersebut. Undang-undang ini mensyaratkan adanya hubungan antar negara yang dilakukan untuk mengupayakan adanya pemblokiran aset atau dana dengan mengikuti aturan nasional dan internasional yang berlaku. Agar dapat meyakinkan negara dimana aset atau dana berada, maka harus disertai bukti-bukti kuat, putusan pengadilan yang menetapkan bahwa pemilik rekening tersebut terkait dengan pendanaan terorisme dan masuk di dalam daftar terorisme yang dikeluarkan secara sah oleh otoritas yang berwenang.

Undang-undang ini akan sangat efektif berjalan apabila diawali dengan semangat untuk memberantas terorisme, tanpa adanya rekayasa dan konspirasi dari para pihak yang berkekuasaan penuh atas suatu negara. Tidak diselewengkannya wewenang tertentu akan menjaga proses penegakan hukum yang adil dan berimbang. Diharapkan tidak ada pihak-pihak tidak bersalah yang dijadikan sasaran dari segala tuduhan yang tidak berdasar. Prosedur yang ada sudah sepatutnya dijalankan dengan benar. Dan terkait hubungan dengan yurisdiksi di luar Indonesia, maka upaya Mutual Legal Assistance, upaya diplomasi dan pendekatan agent to agent harus dioptimalkan agar pemblokiran sebagai upaya pencegahan terorisme dapat berljalan.

Undang-undang yang baik adalah undang-undang yang ditegakkan dengan optimal dan benar oleh aparat penegak hukum.” – Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M

Ditulis oleh Ryan Eka Permana Sakti | Peneliti pada Indonesian Research Center on Anti-Money Laundering And Countering Financing of Terrorism (IRCA) |

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline