Lihat ke Halaman Asli

Sudut Pandang Berbeda dari Pengurangan Subsidi BBM

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mulai hari selasa lalu, harga BBM naik sebesar 30% ( 2000 Rupiah ) yang tentu saja mengundang perdebatan banyak pihak karena terhitung mendadak dikarenakan posisi Harga Minyak Dunia masih dalam batasan wajar didalam asumsi makro APBN kita. Saya rasa opsi ini harus diambil oleh pemerintahan yang sekarang, karena beberapa hal yang sangat mendesak. Kita semua tahu bahwa terdapat program program Jokowi pada saat kampanye yang menurut pandangan sempit saya menjadi sebuah oase di padang pasir. Program program seperti

1.Mensejahterakan desa dengan mengalokasikan dana desa di mana setiap desa rata-rata 1,4 miliar dalam bentuk program bantuan khusus dan menjadikan perangkat desa menjadi PNS secara bertahap.

2.Program kepemilikan tanah pertanian untuk 4,5 juta kepala keluarga. Pembangunan/perbaikan irigasi di 3 juta hektare sawah. Pembangunan 25 bendungan, 1 juta hektar lahan pertanian baru di luar Jawa

3.Perbaikan 5.000 pasar tradisional di seluruh Indonesia dan membangun pusat pelelangan, penyimpanan dan pengelolaan ikan.

4.Kartu Indonesia Sehat

5.Kartu Indonesia Pintar

6.Pengadaan “Tol Laut”

Program program diatas menurut saya sangatlah menjadi sebuah oase, tetapi tentu saja tidak dapat dipungkiri bahwa program program diatas merupakan program “besar” dalam penggunaan anggaran. Bagaimana tidak, untuk Kartu Indonesia Sehat dan Pintar saja sekitar 95 trilliun. Dan perlu kita ketahui bahwa APBN 2015 disahkan pada 14 Oktober 2014 oleh Presiden SBY, yang berarti bahwa program program “oase Jokowi” tidak diakomodasi pada APBN 2015 yang disetujui oleh DPR. Tahun 2015 merupakan tahun pertama bagi rezim Jokowi, yang berarti merupakan tahun yang sangat politis untuk sebuah rezim baru untuk menunjukkan “bukti” kepada masyarakat atas kepercayaan yang sudah diberikan. Apabila pada tahun pertama ini rezim Jokowi gagal menunjukkan bukti atas program yang dielu elukan saat kampanye, bisa jadi popularitas dan kepercayaan public bakal turun. Dalam benak saya, tahun pertama bagi rezim baru merupakan tahun vital dimana kekurangan dalam pemberian “bukti” untuk masyarakat bisa berdampak besar, pihak oposisi bisa saja melakukan “propaganda” untuk menjatuhkan rezim baru ( mengingat kemenangan Jokowi dengan pihak oposisi sangatlah tipis di pemilu serta kemenangan pihak oposisi di parlemen ).Dengan tidak diakomodasinya program Jokowi pada APBN 2015, maka pemerintah akan menyiapkan RAPBN 2015 pada bulan Januari untuk mengatur lagi pos pos pengeluaran yang terdapat pada APBN. Salah satu langkah awal yang dilakukan adalah mengurangi pos pengeluaran subsidi BBM untuk dialihkan ke pos yang lainseperti infrastruktur dan program-program Jokowi. Langkah ini dalam pandangan saya tidak dapat terelakkan, selain itu pakar tim ekonomi Jokowi Jk juga merencanakan menaikkan tax ratio sebesar 2 persen dari 12 persen menjadi 14 persen untuk barang jasa yang dihasilkan di dalam negeri yang akan meningkatkan penerimaan sebesar 150 Trilliun. Sebagian besar dana hasil pengurangan BBM rencananya akan digunakan untuk membiayai infrastruktur seperti jalan raya, irigasi, serta pelabuhan.

Tapi apakah dengan menaikkan harga BBM lantas masalah anggaran program menjadi selesai ? tentu saja tidak sesimple seperti itu. Karena pemerintah harus mengawasi dan memperhatikan apakah benar uang yang secara nominal sebesar 92 Trilliun yang didapat dari pengurangan subsidi BBM juga mencerminkan uang secara riil sebesar 92 Trilliun ?.Dengan pengurangan BBM, tentu saja menaikkan angka inflasi sebesar 2 persen. Katakanlah uang nominal hasil pengurangan subsidi terimbas inflasi menjadi 90.16 Trilliun, belum lagi pengurangan dana imbas dana kompensasi kenaikan harga BBM sebesar 18.6 Trilliun ( Kartu Keluarga Sehat ). Kenaikan gaji PNS dampak BBM juga mengurangi nilai riil pengurangan subsidi sebesar 46,72 Trilliun. Dengan naiknya inflasi maka harga barang menjadi meningkat dan upah buruh menjadi naik, hal ini akan menaikkan resiko kegagalan usaha dan kegagalan pembayaran pajak apabila tidak diimbangi dengan imbas balik yang nyata dari pemerintah. Naiknya resiko kegagalan usaha bisa mengurangi capaian penerimaan pajak yang ditargetkan oleh pemerintah apabila tidak diimbangi dengan peningkatan potensi pajak dari pemerintah yang berarti mengurangi nilai riil dari 92 Trilliun hasil pengurangan subsidi BBM. Pada bulan November 2014, pajak kita baru mencapai 812 Trilliun dengan patokan target sebesar 1200 Trilliun. Kita semua menunggu apakah dengan pengurangan subsidi BBM ini, pemerintah tetap bisa mencapai target penerimaan 1200 Trilliun mengingat naiknya inflasi dan resiko gagal usaha. Selain itu, dengan naik harga BBM maka biaya pengerjaan infrastruktur dari kontraktor dipastikan akan ikut naik mengingat naiknya harga barang baku dan gaji pegawai. Dengan kata lain, harga kontruksi sebelum pengurangan subsidi BBM tentu lebih murah daripada setelah pengurangan subsidi BBM yang berarti ikut mengurangi nilai riil dari 92 Trilliun tersebut.Sekali lagi ini hanya lah bayangan seorang amatiran seperti saya, apabila pemerintah Jokowi berhasil melewati tahun 2014 dan 2015 ini dengan mulus dan tetap bisa memanfaatkan anggaran sebesar 92 Trilliun tersebut maka dampak jangka panjang yang besar tentu akan dapat kita rasakan. Tetapi apabila kemungkinan terburuk terjadi dan ternyata pemerintah tidak bisa memanfaatkan anggaran sebesar 92 Trilliun serta menanggulangi dampak kenaikan BBM, kemunduran perekonomian kita pun menjadi taruhannya. Pengawasan dari masyarakat menjadi hal penting untuk memanfaatkan nilai riil dari nilai nominal 92 Trilliun tersebut dan dapat memberikan dampak jangka panjang yang besar untuk Indonesia.

Sebelum saya mengambil kesimpulan dari sedikit tulisan unek unek saya, saya ingin memaparkan satu lagi dampak yang menurut saya cukup potensial. Dengan kenaikan harga BBM bersubsidi menjadi 8500 tentu saja menjadi PR baru untuk Pertamina, mengingat harga BBM Subsidi menjadi sangat dekat dengan BBM non Subsidi. Jarak yang sangat dekat tersebut dapat menghidupkan persaingan antara SPBU Pertamina dengan SPBU Asing seperti Shell. Kita semua tahu bahwa pelayanan SPBU Pertamina kuranglah baik walaupun saya tidak mau menggeneralisasikannya, masih banyak petugas SPBU nakal yang mengurangi takaran bensin yang dibeli. Secara tidak langsung saya ingin mengatakan bahwa monopoli penjualan BBM selama ini selalu dimenangkan oleh SPBU Pertamina di kota besar bisa dikatakan karena harga jual Premium yang murah bukan karena pelayanan yang prima dan baik. Dengan sangat dekatnya harga Premium dengan BBM non Pertamina serta pelayanan yang prima dan baik dari pesaingnya bisa menimbulkan masalah baru. Apapun bisa terjadi termasuk berpindahnya konsumen ke Non Pertamina serta membuat peta persaingan penjualan BBM dari monopoli menjadi persaingan yang seimbang. Tidak menutup kemungkinan apabila hal ini tidak ditanggapi serius oleh pihak Pertamina, BUMN menjadi tamu asing di negeri sendiri. Ujung ujungnya pun bisa mengurangi pendapatan Negara kita dan berujung pada pengurangan nilai riil dari pengurangan subsidi BBM.

Terlepas dari semua kemungkinan dampak pengurangan subsidi BBM, saya ingin menekankan bahwa masyarakat sekarang mungkin tidak seheboh menentang saat kenaikan harga BBM pada 22 Juni tahun 2013 dimana harga BBM naik dari 4500 menjadi 6500. Padahal pada saat tersebut pemerintah harus menaikkan harga BBM dikarenakan kondisi deviasi asumsi makro APBN dengan realisasinya dimanaharga minyak dunia waktu itu mencapai USD 109 / Barel sedangkan asumsi APBN kita hanya mampu menjangkau USD 100 / Barel. Sedangkan saat ini, asumsi makro APBN kita mampu menjangkau USD 105 / Barel dengan harga pasaran minyak dunia masih di angka USD 80 / Barel. Faktor mencolok lainnya, dimana parlemen yang dikuasai oposisi menyuarakan penolakan kenaikan BBM yang secara tidak langsung “harusnya mewakilkan” suara masyarakat untuk menolak kenaikan BBM besar besaran. Mungkin saja masyarakat sudah lebih dewasa menanggapi kenaikan BBM serta dampaknya, atau masyarakat menaruh harapan yang besar pada pemerintahan yang sekarang sambil menunggu dampak nyata dari pengalihan subsidi BBM ??? Saya harap pemerintah kali ini tidak mengecewakan harapan masyarakatnya.

Kita semua bisa menjadi bagian nyata dalam membantu pemerintah untuk pemanfaatan maksimal dari dana pengalihan subsidi BBM dengan menjadi alat pengawasan pemerintah. Awasi terus apa yang dikerjakan pemerintah untuk mewujudkan Indonesia yang lebih Baik.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline