Lihat ke Halaman Asli

Tentang Jogja dan Seorang Lelaki Kurus

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1334152971639385765

Lelaki itu berdiri memandangi rumah lamanya, menerka-nerka pada lintang dan bujur mana dari kota ini yang masih menyimpan dirinya. Entah di jalan mana, pada tikungan ke berapa atau mungkin di ujung gang buntu sana ia menemukan bahwa sedasawarsa silam, dirinya dulu pernah merasakan detak nadi kota ini, menghirup udaranya, dan di mana dadanya pernah tegak menantang badai yang ke semua itu membawanya menjadi seperti hari ini.

Tapi, ia menemukan dirinya seasing pertama kali mengunjunginya dulu. Gambar dirinya dalam kota tampak sudah kabur; atau mungkin malah sudah tidak ada lagi. Mungkin waktu yang membawanya pergi. Lalu dengan nanar, ia kini memandang sekali lagi penanda kota, mencoba membuat garis lurus Merapi-Tugu-Pantai Selatan yang lanskapnya sudah terdistorsi pada skala dirinya dan kota, dan sang kota terhadap zaman. Kota sudah banyak berubah; menjadi hingar dan gegap namun, baginya, gagap menakar ke arah mana ia mesti bergerak. Kegagapan yang tak seorang pun tahu entah beranjak ke mana. Erosi telah menelan bandarnya jauh ke pedalaman hati.

Dulu, ia adalah segalanya. Dulu, senjanya adalah bak paras merona seorang gadis yang menemukan dirinya ada pada lelaki itu; et vice versa. Wajahnya ramah menyapa yang singgah. Lalu pelan demi pelan ia berubah seperti semua yang lain. Entah berapa banyak lagi yang akan ditumpahkan kepadanya demi semua kenangan yang jelas memudar atas nama kemajuan. Dan entahlah, apa Selokan Mataram pun Kali Code cukup lebar dan kuat untuk membendung arus waktu yang bernama perkembangan.

---

If some lives form a perfect circle, others take shape in ways we cannot predict or always understand.*)

Lelaki itu kini  melihat ke dirinya, bercermin dari waktu lewat kota ini. Ia berharap bahwa untuk masa yang singkat ke depan, bila 86.400 detik dari satu tangkai hari yang terlewati adalah satu berkah besar, ia selalu masih punya rasa syukur karena diberi kesempatan memohon: meminta maaf untuk satu salah atau untuk seribu kekeliruan. Setelah itu, ia akan melepaskan bandul beban yang telah begitu lama menggayuti dirinya. Ia berjanji dalam hatinya, mulai detik ini dan selanjutnya tak akan ada yang tersia-siakan lagi.

Ia ingin mencatat bab-bab zilam sebagai pelajaran tak ternilai bahwa ada banyak hal yang sepadan dengan pengorbanan dan menyelesaikan keseluruhan sisanya sebagai bagian yang layak ditinggalkan, sebagai sesuatu yang menyejarah, sesuatu yang tetap hidup meski kelak ia sudah mati. Ia percaya, selalu terbuka kesempatan kedua dan seburuk apapun wajah dunia tampak baginya, selalu ada pilihan untuk satu, dua, atau banyak anak manusia untuk kembali menemukan rute pulangnya setelah dulu pernah mengambil jalan-jalan panjang yang menikung salah.

Tak perlu menyalahkan apa saja karena memang kita terpaksa tak pernah bisa menerka ke mana sebenarnya sejarah akan menuju, ke mana sang kota akan pergi, dan mengapa hanya hantu kenangan yang tetap tinggal. Dan terutama, tak perlu menyalahkan apa saja karena yang jauh lebih penting kini adalah tentang si lelaki kurus itu,

“Setelah ini, kemana ia akan berlabuh!”

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline