Selamat Pagi, Pak Jenderal! ... Entah sejak kapan bapak dipatungkan di situ. Diabadikan, menjadi sekedar diabadikan. Entah sejak kapan, saya menganggap Bapak hanyalah sebagai nama jalan atau gedung saja. Setiap kota, di negeriku ini, dari yang superbesar dan superkumuh, sampai kota-kota kecil yang masih kukenal cukup asri, nama Bapak betul-betul tenar. Ada di mana-mana.
Namun, bersama dengan patung Bapak yang berdiri tegap, bersama itu pulalah mungkin saya mulai mereduksi nilai perjuangan hanya sebatas pemberian nama, hanya sebatas nilai di permukaan saja. Sekedar penghormatan. Tak lebih, apa malah bisa kurang lagi dari itu. ... Selamat Pagi, Pak Jenderal! ... Pagi-pagi, seperti sekarang ini, pada 80-an atau 70-an tahun lalu, apa yang bapak lakukan untuk nikmati pagi yg pasti lebih segar dibanding yang kini? Ah, pertanyaan yang tak perlu dijawab! Jelas bapak tidak akan sempat memikirkan sejuknya udara pagi. Menikmati secangkir kopi plus gorengan pisang yang lagi hangat-hangatnya. Padahal enak loh Pak. Nikmat! Boro-boro untuk itu, yang terpenting bagi bapak tentunya adalah bagaimana penjajahan harus terhapus dari bumi Indonesia. Bagaimana bapak dan rekan-rekan bapak menyusun strategi jitu melawan kolonialisme yang sudah terlalu lama, secara buta dan brutal, mengeruk sebesar-besarnya sumber bumi kita. Tanpa pamrih adalah model perjuangan Bapak, dan inilah buktinya. Kini kami hidup merdeka di bumi Indonesia ini. Meski kini Pak, saya sudah tidak bisa lagi menikmati embun sesegar dan sesejuk zaman Pak Jenderal dulu. Sarapan pagi saya ke kantor, ke kuliah, atau ke mana saja saya mengais rezeki hari ini hanyalah CO2, produk modernitas. CO2 inilah yang kini setia menemani saya mencari makan, mungkin dengan jalan yang baik meski susahnya minta ampun dengan hasil yang juga, minta ampun, tak seberapa. Sebaiknya tak perlu lewat jalur halal, ambil jalan pintas saja namun hasilnya jelas lebih dari cukup. ... CO2 itu satu hal dimana zaman berubah banyak, berubah begitu cepat, Pak Jenderal! Lainnya, jelas saya sudah tidak akan ikut bersembunyi, atau lari masuk-keluar hutan lalu tiba-tiba menyergap musuh sambil di tangan kanan atau kiri memegang bambu runcing, semodel perang gerilya zaman bapak dulu. Model perang yang saya hadapi sekarang bukan lagi perang yang meremukkan tulang ataupun melelehkan darah dari tubuh saya. Perang saya sudah lain, Pak. Sudah canggih, meski sebenarnya masih bergerilya juga. Bergerilya ke mana-mana.
Nah, kalo model gerilya Bapak bersama rekan seperjuangan Bapak lainnya bertujuan untuk membebaskan tapak demi tapak tanah kita lepas dari penjajahan, saya dengan maksud yang lain, bergerilya untuk membebaskan diri saya dan buat apa memikirkan teman atau rekan sebangsa demi kemakmuran pribadi saya sendiri. Saya bergerilya mencari-cari di setiap kesempatan, mengetuk-ngetuk setiap kemungkinan pada tiap pintu yang ada, untuk bisa hidup enak-senang sendiri. Halal atau tidak, dengan cara benar atau bukan, itu urusan belakang. Nomor satu, yah kemakmuran buat saya sendiri. Jadi jelas, kalo Bapak butuh ditandu atau rekan-rekan sebangsa dan setanah air memerlukan pertolongan saya, saya akan berpikir 100-200 kali lipat dulu dan jawabannya, "Saya ndak ada waktu!" Saya sedang sibuk. Ada banyak yang saya pikirkan dan masih banyak lagi yang akan saya kerjakan. Selain itu, saya juga masih harus memikirkan keluarga saya. Memikirkan istri yang menuntut dipenuhi kebutuhan ini dan itunya, termasuk juga sang anak. Belum lagi saudara, kerabat yang mau tidak mau juga harus didongkrak kemakmurannya. ... Entahlah Pak Jenderal, apa ke depannya saya mau mengubah pola pikir saya. Belajar ikhlas menerima apa adanya saya dan terlebih mau ikhlas menandu siapa saja yang membutuhkan. Namun jangan terlalu berharap banyaklah, Pak. Apalagi kalo saya belum mapan-mapan amat secara finansial maka tak ada waktu buat yang lain. Saya akan lebih supersibuk lagi biar saya bisa tetap bertahan, mampu tetap hidup di zaman yang sekeras ini. Kalo nggak begitu dan tak pintar-pintar mengakali, saya akan disikut kiri-kanan, berarti saya akan jatuh, tenggelam terseret arus, berarti saya mati dong. Maka terpaksa, Pak Jenderal, fungsi akal saya maksimalkan dan tombol nurani di hati saya matikan. Apa yang sebaiknya dan tidak semestinya diakali-akali, saya carikan celah supaya bisa diakali, dengan satu tujuan pasti: mendatangkan kemakmuran bagi saya. ... Yah begitulah, Pak Jenderal, saya menjalani hari-hari di negeri yang dulu Bapak bela. Saya tidak berdaya dan terlalu takut bila suara di diri saya berteriak, "Bisa makan ndak yah hari ini? Ketimbang itu, saya lebih memilih mengikuti suara lain yang berbisik, "Bagusnya makan apa yah hari ini? Suara yang pertama begitu menyesakkan dan menakutkan, seakan-akan itu sudah neraka. Sementara suara yang kedua kedengarannya begitu enak, ringan, serasa berada di surga, meski dengan itu saya terpaksa mengorbankan nurani dan tak apalah yang penting saya bisa hidup enak seenak-enaknya kok. ... Yah begitulah Pak Jenderal, di tengah riuh-gaduhnya tempatmu berdiri kini, saya dan saya yang lain telah dan sedang menginterpretasi lain tentang memaknai perjuangan. Meski pada akhirnya toh nanti, sejarah akan jujur mencatat, siapa sebenarnya yang layak disebut putra terbaiknya. Pak Jenderal pasti salah satunya. Saya? ... ...Anjingku pun melengos, menolak!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H