Hunter....
lt was me that tore you apart, and l owe it to you to bring you back together.
But I can’t stay with you. l could never heal up what happened.
Adalah idola kita zaman dulu, Kurt Cobain, menjadikan film ini sebagai film favoritnya sepanjang masa. Sementara bagi Elliot Smith, musisi yang lagu-lagunya seperti Miss Misery dan Angeles rajin muncul di pemutar musikku dulu, mengutip film ini sebagai satu dari hanya beberapa film yang tak punya peran antagonis. You don't need a bad guy to create tension!
Teknik fotografi yang indah bersama sayatan gitar berirama blues mengiringi film sederhana tentang orang-orang yang terpinggirkan oleh keadaan. Tercabik dari kebahagiaannya.
Aktor-aktris utama:
- Selamat siang, Bapak dan Ibu sekalian. Sebelumnya, silahkan disambi dodol dan wedang teh-nya. Perkenalkan, nama saya Harry Dean Stanton. Saya berdiri di depan sini bukannya hendak berkampanye politik, lalu entar kalo selesai acara akan bagi-bagi beras, gula pasir ditambah selembar duit goceng. Tidak, tentu tidak. Jangan berprasangka buruklah. Saya hanya ingin memberi info sedikit tentang film Paris, Texas yang pernah saya bintangi. Film ini dirilis pada tahun 1984. Oleh sang sutradara, saya mendapat peran utama, menjadi seseorang bernama Travis. Travis yang di bagian awal film langsung dimunculkan sebagai orang asing yang berada di sebuah tempat berseting mirip iklan produk rokok Mar*boro zaman dulu. Saya berjalan seorang diri. Langkah gontai dan pandangan yang kosong mengarah ke depan. Saya tampak sebagai seorang yang linglung. Kehilangan anak dan istri empat tahun lalu adalah penyebabnya. Sejak saat itu, apa yang saya inginkan hanyalah lari dari keadaan dan terdampar di sebuah negeri asing, somewhere without language or streets. Ketika masuk ke sebuah bar, saya tiba-tiba pingsan. Berkat nama dan nomor telpon yang terselip di kantong saya, dokter yang menolong lalu menghubungi Walt Henderson, seorang adik yang berada di LA. Si adik yang baik ini lalu datang menjemput dan membawa saya ke rumahnya, di mana saya dipertemukan kembali dengan Hunter.
- Selamat siang, Pakde dan Budhe. Di sekolah, saya biasa dipanggil Hunter. Di filmnya opa Wim Wenders ini saya juga dipanggil Hunter. Bedanya, kalo di rapor sekolah saya tercatat sebagai Hunter Carson, di film ini saya tercatat sebagai Hunter Henderson, anak dari Walt Hendersen dan Anne Henderson. Tapi itu dulu sebelum Anne bicara terbuka, meski berat, bahwa sebenarnya ayah saya adalah Travis dan punya ibu yang bernama Jane. Tahu akan hal ini, butuh penyesuaian untuk bisa menerima Travis sebagai ayah setelah sekian tahun tinggal bersama Walt dan Anne dan menyebut mereka sebagai orang tua. Travis kemudian mencoba untuk menarik perhatian saya dengan gayanya yang kok wagu tapi kok yah kocak sehingga pelan-pelan kami berdua bisa akrab. Di suatu hari, sambil ngobrol ngalor-ngidul, kami kompak untuk mencari Jane yang, berdasarkan bisik-bisik informasi dari Anne ke Travis, berada di Houston, Texas dan setiap tanggal 5 awal bulan selalu datang ke bank yang sama untuk berkirim duit ke Anna. Kami berdua lalu berangkat ke sana dan .... Oh, ups, udah mau sore. Udah jamnya cah bagus ini untuk segera pulang dan mandi. Ada banyak PR soalnya yang harus dikumpul besok. Bye, bye, Pakde dan Budhe!
- Kulo jenenge Nastassja Kinski. Neng film iki aku entuk lakon dadi Jane. Jane sing.... hmm, hmm, uuh, ah ribet, baru kursus soalnya tadi sebelum datang ke sini. Pakai bahasa Indonesia saja... Jane yang akibat ketiadaan Travis menjadi seperti orang yang kehilangan tujuan dalam hidup. Eh, jadi ingat pepatah SD zaman purba kita dulu, mati enggan hidup pun tak mau. Mirip-mirip seperti itu rasanya. Dan kepada Hunter, sejak saat itu, saya merasa tidak memiliki apa yang ia butuhkan. Saya tidak ingin memanfaatkannya hanya untuk mengisi kekosongan di hati saya gara-gara ditinggalkan Travis. Saya lalu memutuskan untuk menitipkan Hunter ke rumah tangga Walt dan Anne yang kebetulan tidak memiliki anak. Kemudian saya juga pergi, ikutan menghilang dan akhirnya terdampar di Boston, di mana entah mengapa dan bagaimana, kok yah berprofesi jadi wanita penghibur. Enggak apa-apa kan, Bapak dan Ibu sekalian? Mari kita anggap wajar-wajar saja untuk tokoh seperti Jane. Maklum orang yang patah hati terhadap hidup. Lagian ini hanya lakon di film doang dan kalau pun ceritanya harus dirubah, kasihan entar Sam Sephard, si penulis naskahnya, masak harus kerja dua kali. Siapa coba yang mau buatin kopinya?
Lebih sering, sesuatu yang berharga, sesuatu yang begitu berarti baru akan terasa sungguh ketika ia pergi dan yang tersisa dari diri kemudian hanyalah rasa sesal. Suatu bentuk emosi yang tentu tak bisa membawanya kembali. Bagian tersentimentil film ini adalah ketika Travis dan Jane bertemu. Di-set dalam suatu ruangan, tetapi ada cermin yang memisahkan mereka. Cermin sebagai pembatas masa lalu dan masa kini. Masa lalu tentang cerita dua anak manusia yang bermandikan madu kasih, menjalani kehidupan bersama dalam gairah kepetualangan dan masa kini di kutub yang lain tentang adanya kegalauan dan kekosongan, adanya kepahitan dan juga air mata yang tumpah.
.
Paris, Texas hanyalah sebuah film, tetapi bisa jadi ia lebih dari sekedar hanya. Bisa jadi ia semacam monumen, tugu peringatan betapa selalu ada ruang kosong yang abadi di hati manusia yang menuntut untuk dipenuhi. Ruang kosong, semacam lubang hitam, yang bisa menyedot semua perbendaharaan kata "CUKUP" sehingga keinginan menjadi sesuatu yang tak akan pernah bisa terpuaskan. Lewat ruang kosong itu, kita hendak mewujudkan semua keinginan kita. Lewat ruang kosong itu, kita melakukan pencarian. Mencari suatu yang baru, atau di film ini, mencoba membawa pulang apa yang dulu pernah ada. Kehangatan dan kebersamaan.