I will never stop learning until I have soil in my ears
Berlokasi di sebuah desa, di kawasan Lembah Retak Raya, Kenya. Seorang penyiar dari sebuah stasiun radio memberi pengumuman tentang terbukanya kesempatan bagi semua penduduk untuk bisa mendapatkan pendidikan dasar. Berikutnya, ratusan orang tua tampak mendaftarkan anak-anak mereka. Antusias yang besar meski memang tidak didukung dengan sarana yang memadai. Kelas yang ditawarkan hanya sedikit dan seadanya. Tapi apa pun itu, niat pemerintah bahwa semua orang, terutama anak-anak berhak mendapat pendidikan dasar patut diacungi jempol, meski sang penyiar berucap sinis, “Pemerintah menepati janjinya? Ah, yang benar saja!”
Pada hari pendaftaran yang sama, muncul sesuatu yang tak terduga. Seorang kakek, berumur 84 tahun kepingin mendaftar juga. Bukan untuk anak atau cucunya, tetapi untuk dirinya sendiri. Awalnya ditolak oleh seorang rekan guru yang menanggapi keinginan pak tua ini dengan kata-kata yang sinis-mengiris seperti pulang saja dan beristirahatlah dalam damai atau mengapa harus mengorbankan diri untuk orang yang satu kakinya saja sudah berada di liang kubur. Namun niat orang tua ini untuk bisa belajar membaca membuatnya tak bosan ditolak. Pantang menyerah. Ditolak hari ini, masih ada besok. Ditolak besok, lusa matahari masih akan bersinar kan. Ia harus datang untuk kali ketiga dengan janji akan menjadi murid yang baik dan akan belajar dengan rajin. Mendengar keteguhan niatnya, Jane, sang ibu guru kehabisan kata-kata untuk menolaknya.
Lalu dimulailah hari-hari bersekolah Maruge. Untuk bersekolah, ia harus menyulap celana panjangnya menjadi celana pendek dan menjual ternak demi memenuhi kebutuhan perlengkapan bersekolah seperti buku tulis, pensil HB, seragam, dan juga sepatu. Umur yang sudah tua butuh penyesuaian, terlebih di sekolah dasar di mana para muridnya adalah anak-anak. Dengan badan yang tinggi besar, harusnya Maruge duduk di bangku belakang, tapi karena mata sudah rabun bin pendengaran sudah kurang tajam, ia mendapat jatah duduk di kursi depan. “Padahal enakan duduk di barisan paling belakang, Mr. Maruge. Apalagi belakang pojok, lokasi strategis untuk tidur” kata saya haha. Dan benaran, Maruge menepati janjinya. Ia menjadi seorang murid yang tekun dan cepat menangkap pelajaran. Bahkan, di rumah sebelum tidur pun, ia masih menyempatkan diri untuk mengulang pelajaran. Ia sebenarnya pandai, hanya saja tidak melek aksara.
Matahari terbit dan tenggelam, lagi dan lagi, dan kabar tentang seorang kakek berumur 84 tahun yang bersekolah dasar mendapat banyak perhatian. Silih berganti, juru warta dalam dan luar negeri datang mewawancarai. Koran, majalah, dan TV mengeksposnya. Kini, ia dianggap semacam pahlawan yang menginspirasi. Sontak Maruge, bersama sekolah dan desanya seakan tiba-tiba muncul di peta dan dikenal dunia. Bahkan ada pejabat dari ibukota, Nairobia, datang menjenguk Maruge dan sekolah yang kini telah menjadi buah bibir. Ah, pejabat kayak ini tahu banget niatnya. Biasanya model yang oportunistis, yang pura-pura muncul ke permukaan, numpang tenar dengan ujug-ujug mengklaim punya andil atas semangat bersekolah Maruge. Padahal totally bodong.
---
Mungkin benar kata Jerry Maguire, ‘We live in the sinical world, sinical world!’ Dengan penekanan pada frasa sinical world yang disebut dua kali adalah sebagai penanda sungguh, virus sinis kini telah mewabah. Inilah zaman penuh kesinisan. Di mana ada saja orang yang mulutnya kok nyinyirnya minta ampun. Apa yang orang lain katakan, apa yang orang lain lakukan, mestinya selalu salah. Penilaian langsung dimulai dengan sikap apriori, lalu seketika palu vonis diketuk tanpa memberi kesempatan orang lain membuktikannya lebih dulu. Atau, oke lakukan saja, dan sambil “berdoa” diam-diam dalam hati, berharap-harap orang lain gagal dan ketika benar terjadi, langsung berteriak hore. Ada model kayak gitu; atau ada saja yang merasa hanya dirinyalah yang paling benar. Maruge dan Jane mengalaminya, sebagai korban, sebagai objek penderita.
Pertama, di awal pendaftaran saja, pahlawan-penginspirasi kita sudah disambut dengan sikap antipati lewat kata-kata sinis seorang guru yang sudah disebutkan di atas. Lalu dari orang tua murid, ia dibenci. Mungkin dalam pikiran mereka, buat apa orang setua Maruge masih bersekolah. Ingat umurlah. Musti ini ada apa-apanya, ataukah mungkin ada sesuatu yang diincarnya. Sampai-sampai ada satu orang tua murid yang membayar anak-anak muda desa untuk menyerang sekolah. Meneror. Niatnya cuma satu, agar Maruge dikeluarkan dari sekolah. Dari pejabat dinas pendidikan, yang katanya atas nama kebijakan, memaksa Maruge pindah ke sekolah dewasa di kota. Namun di sekolah dewasa, ia tidak menemukan kenikmatan sesungguhnya dari belajar, selain jaraknya yang jauh dan tak punya ongkos untuk bolak-balik setiap hari. Maruge juga dianggap terlalu sombong bagi orang-orang tua sebayanya di desa karena tidak mau bergaul dengan mereka yang tampak sibuk nge-bir sambil obral-obrolan. Selain itu, ada yang menduga bahwa ia memperoleh bayaran dan menikmati sendiri hasil wawancara dengan awak media. Padahal totally bodong. Tidak ada sama sekali.
Tapi pahlawan selalu tidak datang sendiri. Selalu ada kaki-kaki penopang yang tulus memberi dukungan, yang mau berkorban, walaupun diasingkan atau digosipin miring hanya karena ia melakukan sesuatu yang benar. Dan kredit untuk Jane dalam hal ini. Jane adalah seorang pribadi yang berani dan tak takut atas apa pun konsekuensinya. Dan tentang aturan? Bukankah bertujuan untuk memperlancar suatu tugas, demi suatu niat baik? Kalau ternyata menghambat, kadang-kadang, persetan dengan regulasi. Sebagai guru, Jane mengalami tentangan dari lingkungannya. Ada rekan guru yang membencinya. Ada orang tua murid yang menuduhnya hanya mencari popularitas untuk dirinya sendiri. Ia juga mendapat telepon gelap bernada ancaman supaya mengeluarkan Maruge dari sekolah. Dalam urusan keluarganya, ia terpaksa bertengkar dengan suaminya karena dituduh punya hubungan gelap. Padahal sih, yang maling siapa, yang teriak siapa. Dewan sekolah juga mengancamnya dan akhirnya memutasinya ke tempat yang jauh. Adalah berat menjadi tokoh Jane, sampai-sampai suatu hari Maruge berkata, “Engkau menderita karena saya¸ Jane?" Dengan tegas karena cintanya pada dunia pendidikan, Jane menjawab, “Tidak, ini keputusanku!”
[caption id="attachment_370481" align="aligncenter" width="500" caption="Kimani Maruge yang sebenarnya"]
[/caption]
Nama dan karakter Kimani Maruge dalam film produksi BBC ini diangkat dari kisah nyata. Bukan sekadar rekaan penulis skenario dan sutradaranya saja. Kimani Maruge meninggal dunia pada 15 Agustus 2009 dalam usia 90 tahun. Ia tercatat dalam Guinness World Record sebagai murid tertua yang pernah mengikuti pendidikan dasar. Berkat itu, PBB mengundangnya ke New York pada tahun 2005 untuk ikut menyuarakan gerakan pendidikan secara global .
Kimani Maruge menjadi seperti lilin kecil di kegelapan nasib sebangsanya di Kenya dan pasti di banyak tempat lain di dunia. Ia menjadi oase semangat di tanah bergurun tak berpengharapan. Ia menjadi suar ke mana orang menentukan derajat tujuannya. Bahwa seseorang harus berjuang untuk apa yang ia percayai sebagai haknya. Bahwa, seperti tagline film ini, tak pernah ada kata terlambat untuk bermimpi. Bahwa sebentuk penghargaan terhadap para pejuang yang telah bersusah payah mewujudkan kemerdekaan adalah dengan bersekolah, dengan belajar, karena ilmu adalah harta yang sangat bernilai.
Dan yang utama, belajar adalah sebuah kegembiraan, bukan beban, apalagi keterpaksaan.
--------------
Kredit foto:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H