Lihat ke Halaman Asli

Hukum Tak Mengenal Balas Budi ‘Mas Anas’

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1389584602609399033

[caption id="attachment_289848" align="alignleft" width="300" caption="Anas dan loyalisnya, Gede Pasek/ Foto: tribunnews.com"][/caption] Para pendukung Anas Urbaningrum (masih) terus menebar perang kata-kata, terkait dengan penahanan mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu, Jumat 10 Januari 2014. Berbagai pernyataan dikeluarkan para loyalis Anas untuk mengikis citra Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan orang-orang yang selama ini ‘dianggap’ sebagai penyebab ditetapkannya mantan Ketua PB HMI itu sebagai tersangka dan akhirnya ditahan.

Belum lama ini, anggota DPR Gede Pasek Suardika, seorang loyalis Anas dan juga pengurus Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) mengeluarkan pernyataan dengan menyinggung soal balas budi yang seharusnya dilakukan Ketua KPK Abraham Samad. Gede Pasek mengatakan Abraham Samad dulu (2011) melobi Anas (saat itu masih menjabat Ketua DPR) agar terpilih sebagai Ketua KPK.

Pernyataan tersebut sebagain sentilan kepada Samad bahwa Anas menjadi salah seorang yang (mungkin) ikut mengantarkannya menduduki posisi Ketua KPK. Kalau dicermati, pernyataan Gede Pasek itu seolah-olah ingin menunjukkan bahwa Anas telah berjasa dan Samad tidak melakukan balas budi atas jasa tersebut.

Sebagai anggota DPR, alangkah dangkalnya pernyataan Gede Pasek tersebut. (Mungkin) Dia tidak mengerti bahwa dalam hukum itu tidak mengenal istilah balas budi. Sebagai anggota PDR dan (tentunya) orang ‘pintar’, seharusnya Gede Pasek sadar bahwa pernyataannya itu tidak akan berarti apa-apa, khususnya dalam kasus penahanan Anas.

Apa yang dilakukan Samad pada saat itu (2011) adalah wajar. Sebagai seorang calon komisioner KPK, penting bagi Samad untuk meyakinkan para anggota DPR yang memang diberikan kewenangan untuk melakukan uji kelayakan bagi para komisioner KPK. Lobi itu sah-sah saja, selama tidak diikuti embel-embel pemberian gratifikasi, suap dan lain sebagainya. Kenyataannya, Samad juga tidak melakukan praktik KKN. Dia tidak menjanjikan apa-apa, ketika dirinya melobi Anas dan para anggota DPR lainnya. Artinya, lobi itu bersih dari segala unsur ‘barter kepentingan’. Perlu diingat juga bahwa DPR adalah lembaga politik. Dalam politik, lobi itu diperlukan dan sah-sah saja, selama tidak mengorbankan kepentingan rakyat dan meletakkan hukum di atas kepentingan individu dan kelompok/ golongan.

Saat ini Gede Pasek dan para loyalis Anas mencoba membangun opini publik soal ‘balas budi’. Mereka (aktivis PPI) membangun opini seolah-olah Samad adalah orang yang tidak tahu balas budi. Namun Gede Pasek dan para loyalis Anas lupa bahwa konteks yang mereka bicarakan adalah soal korupsi. Sungguh naif, jika ‘balas budi’ yang dimaksud adalah membantu Anas dalam kasus korupsi yang menjeratnya.

Kalau logika itu yang coba dibangun, kita (rakyat Indonesia) sangat kecewa memiliki anggota DPR model Gede Pasek.  Sebagai anggota DPR, seharusnya Gede Pasek menomorsatukan kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Namun dalam kasus Anas ini, Gede Pasek justeru menomorsatukan persahabatan melebihi tata aturan, norma dan penegakan hukum.

Sungguh ironis, opini yang sebenarnya dibangun untuk menguatkan dukungan kepada Anas, justeru melemahkan kepercayaan dari rakyat. Opini yang ditujukan untuk menguatkan dukungan kepada Anas dalam menghadapi proses hukum, justeru menurunkan citra Anas dan para pengikutnya.

Lagi-lagi kita harus sadar bahwa saat ini rakyat sudah mulai pintar dan tidak mau dibodohi dengan segala bentuk omong kosong. Rakyat sudah memiliki frame dan cara menilai sendiri terhadap kasus yang membelit Anas. Saat ini yang paling penting dan harus kita lakukan adalah membiarkan KPK bekerja sesuai prosedur dan tata aturan yang berlaku. Hasilnya, biarkan rakyat yang menilai. Kalau memang ada ketidaberesan dalam kasus Anas, akan dengan sendirinya memunculkan reaksi, tanpa harus dipengaruhi oleh berbagai ragam opini. Harus diingat juga, hukum tidak mengenal balas budi. Siapa pun yang bersalah, dari manapun asalnya, harus dihukum. Hukum tidak memihak, karena kepentingan tertentu. Hukum harus ditempatkan di atas segala-galanya. Hukum tidak boleh kalah, hanya karena ada satu kepentingan dan atau balas budi.(***)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline