Anas Urbaningrum melakukan konferensi pers di rumahnya, Jumat 10 Januari 2014 untuk menjelaskan sikapnya yang mangkir dari panggilan KPK pada 7 Januari lalu. Mantan Ketua Umum Partai Demokrat ini banyak bermain dengan kata-kata untuk membela diri bahwa dia tidak mangkir. Dia kembali memainkan ‘kata-kata’, seolah-olah memang dibenarkan seorang warga negara menghindari panggilan dari KPK, yang merupakan lembaga penegak hukum.
Kepintaran Anas dalam memainkan kata-kata, ternyata diikuti para ‘anak buahnya’ yang tergabung dalam Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI). Ironisnya, selain pandai memainkan ‘kata-kata’, beberapa anak buah Anas juga ‘pintar’ dalam menebar fitnah. Seperti yang dilakukan aktivis PPI, Murod yang menuduh Wamen Denny Indrayana dan salah satu Ketua KPK Bambang Wijayanto bertemu dengan Presiden SBY di Cikeas. Tuduhan itu keluar, setelah Anas dipanggil KPK untuk datang ke kantor lembaga superbody tersebut pada 7 Januari lalu.
Faktanya, tidak ada pertemuan antara Denny Indrayana dengan Bambang Wijayanto dan juga Presiden SBY di Cikeas. Fakta itu diperkuat dengan permintaan maaf dari Murod, setelah Denny mengancam akan melakukan somasi kepada PPI. Ini menunjukkan bahwa PPI atau loyalis sengaja melakukan berbagai cara untuk melindungi pemimpinnya.
Tidak kali ini saja PPI menyebarkan kabar yang tidak benar. Sebelumnya, seorang aktivis PPI juga, yaitu Sri Mulyono juga menuduh SBY memerintahkan KPK untuk menetapkan Anas sebagai tersangka. Logikanya dari mana presiden bisa mengintervensi KPK? Saat besannya Aulia Pohan ditahan saja, SBY tidak melakukan apa-apa. Begitu juga dengan Andi Mallarangeng yang dikenal dekat SBY. Orang nomor satu di RI itu tidak bisa memberikan pembelaan apa-apa, bahkan untuk sekadar menahan atau menunda penahanan terhadap Andi.
Begitu juga dengan para elit Demokrat yang ditangkap KPK, SBY juga tidak bisa melakukan apa-apa. Jadi bagaimana mungkin SBY memerintahkan, apalagi mengintervensi KPK untuk menetapkan Anas sebagai tersangka. Kalau pun kemudian KPK menetapkan Anas sebagai tersangka, hal ini murni karena lembaga tersebut memiliki bukti yang kuat.
PPI juga pernah melakukan manuver, ketika tiba-tiba muncul kabar Profesor Subur Budi Santoso diculik BIN, saat akan mengikuti sebuah acara yang diselenggarakan PPI. Namun ternyata tidak penculikan tersebut dan apa yang dikatakan PPI hanya omdo alias omong doang, tidak ada buktinya.
Cara-cara, seperti fitnah, menduga-duga sesuatu yang tidak jelas sepertinya memang menjadi trade mark para pendukung Anas, termasuk Anas-nya sendiri. Cukup disayangkan, kalau politisi muda sekelas Anas melakukan cara-cara kurang terhormat untuk membela kehormatannya.
Kalau memang merasa tidak bersalah, Anas dan para pendukungnya seharusnya menggunakan kecerdasan dan kepintarannya untuk menunjukkan bukti-bukti kepada KPK. Sebagai orang yang cerdas dan pintar, seharusnya juga Anas menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Jangan menjadi orang yang terlihat pintar, namun sebenarnya bodoh di mata hukum.(***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H