Lihat ke Halaman Asli

Baduy, Tetangga Jakarta yang Tak Tersentuh Modernisasi

Diperbarui: 22 September 2016   06:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Pribadi

Siapa yang menyangka tak jauh dari kota Jakarta yang merupakan ibu kota Negara kita masih ada suku yang masih memegang teguh tradisi leluhur.

Banten adalah sebuah propinsi yang bersebelahan dengan ibu kota kita, Jakarta. Kota metropolitan. Kota yang tak pernah tidur dengan segala aktivitas penduduknya ternyata berbanding 180 derajat dengan sebuah suku yang berada tak jauh dari megahnya ibu kota. Suku yang tak membiarkan modernisasi merusak tatanan alam yang mereka huni. Suku Baduy.

Pantang merusak alam

“Panjang ulah dipotong, pondok ulah disambung” pepatah sunda yang artinya “Panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung” terus dipegang oleh sekelompok masyarakat Banten Selatan. Mereka tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.

Baduy sendiri terbagi menjadi dua, Baduy Luar dan Baduy Dalam.

Baduy Luar hanya yang masih terletak dekat dengan daerah yang sudah tersentuh modernisasi hanya sekitar 2 jam berjalan kaki. Menurut cerita, Suku Baduy Luar adalah orang-orang yang melanggar aturan adat leluhur kemudian diasingkan/dibuang selama 40 hari sebagai hukuman. Setelah selesai menjalani masa hukuman orang yang melanggar tersebut diberi dua pilihan. Pilihannya  adalah tetap menjadi warga Baduy dengan mentaati aturan leluhur yang telah turun temurun dianut atau meninggalkan daerah itu. Sebagian dari mereka memilih keluar dari daerah yang membuat mereka terbuang.

Meski mereka “Telah Dibuang” tetapi mereka masih merasa bahwa mereka adalah Orang Baduy sehingga mereka membuat perkampungan di sekitar daerah itu. Walau sudah sedikit “Tersentuh” modernisasi tetap saja mereka masih tetap memegang sebagian pripsip-pripsip leluhur Baduy. Orang Baduy Luar sebagian sudah menggunakan pakaian seperti kita. Sudah memakai sandal, kaos, dan lain lain. Bahkan ada yang sudah menggunakan HP. Di sini kita akan melihat rumah-rumah mereka hanya menggunakan bahan-bahan dari alam. Tak ada bahan tang berbau modern sedikit pun. Rumah-rumah panggung dari kayu, dinding terbuat dari bilik bambu, atap terbuat dari daun sagu/rumbia yang semuanya dari alam.

Pekerjaan mereka mayoritas bertani. Sedangkan para wanitanya menenun. Hasil tenunan berupa sarung, syal, dan kain bahan baju dapat kita beli langsung dari mereka dengan harga yang relatife murah.

Selepas Baduy Luar bila ingin ke Baduy Dalam kita masih harus mendaki sekitar 3 jam berjalan kaki. Jangan lupa kita harus izin terlebih dahulu pada Jaro atau Lurah berapa orang kita masuk/mendaki dan berapa lama kita mondok/menginap di Baduy Dalam. Bagi orang asing/luar daerah biasanya akan diantar oleh guide yang banyak menawarkan jasanya di terminal. Ciboleger misalnya atau setiap desa yang mempunyai akses ke Baduy Dalam.

Untuk mencapai Desa Kanekes kita harus melewati banyak rawayan/jembatan dari bambu untuk menyeberangi sungai. Jalan setapak mendaki, menurun, dan licin harus ditempuh selama kurang lebih 3 jam. Untuk itu diperlukan fisik yang benar-benar dalam kondisi sehat. Juga jangan malu membawa tongkat untuk mambantu menopang badan kita saat mendaki di jalan yang licin.

Ada aturan tak tertulis setelah memasuki wilayah Baduy Dalam atau Desa Kanekes. Kita dilarang memotret hingga batas yang ditentukan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline