Tidak terasa, Pemilu sudah akan tiba dalam waktu kurang dari satu bulan lagi. Pemilu kali ini mungkin adalah salah satu pesta demokrasi terpenting dalam sejarah Indonesia yang akan menentukan arah berlayarnya kapal besar bangsa ini. Tidak kurang, masa depan kita dipertaruhkan di sini.
Pemilu memang sangat penting bagi seluruh warga Indonesia. Namun, Pemilu memiliki urgensi yang jauh lebih besar bagi satu segmen khusus yang ada di masyarakat.
Segmen ini adalah pemain utama dalam pesta demokrasi, yang uniknya justru sering dilupakan setelah Pemilu itu sendiri berlalu. Segmen yang saya bicarakan tentu saja adalah para caleg yang ikut dalam kontestasi Pemilu, yang jika ditotal jumlahnya mencapai ribuan, mulai dari caleg DPR, DPD, sampai DPRD baik itu tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota se-Indonesia.
Setelah Pemilu usai, tidak jarang kita membaca berita tentang mantan-mantan caleg yang stress atau tertekan karena tidak terpilih. Bagi yang membaca, berita-berita semacam ini mungkin masuk dalam kategori unik atau bahkan lucu dan menghibur. Namun tidak bagi para caleg yang benar-benar menjalaninya.
Pasalnya, mayoritas caleg adalah tulang punggung keluarga yang telah menghabiskan uang dalam jumlah tidak sedikit selama masa kampanye. Jika terjadi sesuatu yang membuat mereka tidak dapat kembali produktif setelah Pemilu usai, maka tidak hanya si caleg itu sendiri yang menderita, namun juga seluruh anggota keluarganya serta orang-orang lain yang mengandalkan hidupnya dari si caleg.
Saya sendiri sebagai salah satu dari sedikit orang yang masuk dalam kategori tersebut memperhatikan bahwa potensi beban mental memang semakin memuncak mendekati hari H pencoblosan bagi sesama caleg yang berjuang. Karena itu, saya merasa perlu membuat tulisan yang mungkin satu-satunya di Indonesia ini tentang kiat-kiat agar para (mantan) caleg terhindar dari stress atau konsekuensi buruk lainnya setelah pesta demokrasi selesai.
Luruskan Niat
Segala sesuatu diawali dengan niat. Mungkin terdengar klise, namun hal ini sangat penting. Kenyataannya, jauh lebih banyak caleg yang ikut dalam kontestasi Pemilu dengan niat yang salah. Niat yang benar tentu saja adalah untuk mengabdi dan membuat kemajuan bagi masyarakat banyak. Apapun di luar itu -- seperti mengumpulkan kekayaan atau karena ingin terpandang -- adalah niat yang keliru.
Jika dari awal niat si caleg memang benar untuk masyarakat, maka ia akan bisa lebih legawa ketika pada akhirnya tidak terpilih. Mungkin perasaannya tidak jauh berbeda dengan orang yang ditolak cintanya -- yang kebanyakan dari kita pernah menjalaninya.
Awalnya terasa berat, namun pada akhirnya kita bisa melaluinya dan bahkan menemukan kebahagiaan di tempat yang lain. Namun jika si caleg mengikuti Pemilu karena alasan ekonomi, maka ia akan memandang seluruh kegiatan terkait Pemilu yang dijalaninya dari perspektif transaksional.
Semua pengeluaran yang ia lakukan selama kampanye akan dianggap sebagai modal yang menghilang begitu saja manakala si caleg tidak terpilih, tidak berbeda halnya dengan orang yang gagal dalam berbisnis. Dan, pengalaman mengajarkan kita bahwa mayoritas orang Indonesia lebih mudah move on dari putus cinta daripada gagal berbisnis.