Film Barbie adalah sebuah fenomena. Melebihi semua ekspektasi, Barbie yang disutradarai oleh Greta Gerwig dan ditulisnya bersama sang pasangan, Noah Baumbach, berkembang dari hanya "sekedar" film menjadi sebuah pernyataan (pos)feminisme yang dapat menarik perhatian khalayak global terhadap isu tersebut. Pola yang sama -- film yang melampaui fungsinya sebagai media hiburan -- dilakukan juga oleh Top Gun: Maverick tahun lalu yang mengangkat tema maskulinitas walaupun dengan cara yang jauh lebih tersirat.
Barbie dan Gerwig pantas mendapatkan semua kredit yang ditujukan kepadanya. Barbie tidak hanya sangat menghibur, namun juga berhasil mengangkat isu gender secara vulgar yang menjadi faktor X dan membut film ini sangat unik dan laku di pasaran. "Vulgar" di sini bukan dalam konteks seksi atau buka-bukaan. "Vulgar" yang dimaksud adalah metode penyampaian pesan dalam film Barbie yang dilakukan secara gamblang dan terang-terangan.
Ya, inilah mungkin kekuatan sekaligus kelemahan terbesar Barbie. Jika kebanyakan film berusaha menyisipkan pesan moral atau agendanya secara tersirat dan mengandalkan penonton untuk menangkap pesan tersebut setelah berpikir terlebih dahulu, tidak demikian halnya dengan Barbie. Lewat film ini, Gerwig seolah terobsesi untuk memastikan "pelajaran" dalam filmnya tersampaikan kepada penonton.
Karena itu, alih-alih menyampaikan pesan di dalam filmnya secara semiotik lewat rangkaian adegan para pemeran, Gerwig menyampaikannya secara terbuka langsung melalui lisan pemeran-pemeran perempuan di film ini, utamanya Margot Robbie yang menjadi "Stereotypical" Barbie dan America Ferrera sebagai Gloria, pengejawantahan karakter Barbie di dunia nyata.
Dalam banyak adegan, pilihan Gerwig yang menyampaikan pesannya dengan cara idiot-proof seperti ini terasa cukup mengganggu. Tidak hanya sekali ketika menonton filmnya, saya merasa seperti berada di ruang kuliah feminisme dengan Barbie dan Gloria sebagai dosennya yang berceramah langsung kepada penonton.
Untungnya, Gerwig cukup pintar untuk memastikan penyampaian pesan yang dilakukan secara "preachy" tersebut diselingi dengan adegan-adegan lucu yang sangat menghibur -- sebelum kemudian ia mulai berceramah kembali. Untungnya lagi, seluruh pemeran dalam film ini bermain dengan sangat gemilang, termasuk pemeran laki-lakinya seperti Ryan Gosling sebagai Ken, Will Ferrel sebagai CEO Mattel, bahkan Michael Cera sebagai Allan.
Dan pesan dalam film Barbie sebenarnya bukan feminisme -- atau setidaknya bukan sekedar feminisme. Saya sendiri cenderung lebih melihatnya ke arah posfeminisme. Secara awam (dan saya sendiri memang awam dalam tema ini), perbedaan sederhana keduanya adalah jika feminisme lebih ekstrem dan mengejar superioritas perempuan atas laki-laki -- dan atas sesama perempuan -- posfeminisme lebih halus dan mengejar ekualitas alih-alih superioritas. Sederhananya lagi, pandangan posfeminisme lebih terbuka untuk berkompromi dan mencari jalan tengah dengan kubu laki-laki, ketimbang feminisme yang lebih melihat laki-laki dan patriarki sebagai sumber dari semua sumber masalah yang ada di dunia.
Tema posfeminisme dalam film ini ditandai secara gamblang juga dengan karakter Barbie Presiden -- diperankan oleh Issa Rae -- yang terang-terangan mengakui bahwa dunia utopia feminis Barbie yang muncul di awal film bukanlah dunia yang sempurna. Dunia tersebut mengalienasi dan mendiskriminasi tidak hanya karakter laki-laki -- semua Ken, Allan, dan beberapa boneka laki-laki reject lainnya -- namun juga karakter perempuan yang dianggap "kurang" kompetitif seperti Weird Barbie dan Barbie-Barbie lain yang tidak laku di pasaran. Dengan kata lain, ia mengakui bahwa sumber masalah bagi perempuan bukan hanya laki-laki, tapi juga perempuan lainnya. Karakter "toxic" tidak hanya terbatas pada maskulinitas, namun juga pada feminitas.
Film Barbie juga mengisyaratkan bahwa di dunia modern ini, citra patriarki lah -- bukan sekedar patriarki -- adalah hal yang dipandang sebagai masalah dalam konteks gender. Karena itu, Gerwig berusaha juga memperlihatkan secara gamblang bahwa konflik di dalam film muncul disebabkan oleh parodi patriarki -- dan bukan patriarki sesungguhnya -- yang dibawakan oleh karakter-karakter laki-laki yang semuanya memiliki kedewasaan setingkat anak remaja -- dibandingkan dengan karakter-karakter perempuan di dalam film yang semuanya matang secara mental bahkan termasuk karakter remajanya.
Di dunia nyata, sifat dewasa maupun kekanak-kanakan tentu saja bisa dimiliki oleh perempuan maupun laki-laki dan tidak unik kepada salah satu gender saja.
Pada akhirnya, alih-alih sekedar mengangkat isu gender dan feminisme, film Barbie sebenarnya membawakan pesan yang lebih berharga tentang masalah eksistensialisme yang sama pentingnya baik untuk perempuan dan laki-laki. Baik Barbie maupun Ken mengakhiri film dengan sebuah perjalanan untuk mencari jati diri masing-masing.