Lihat ke Halaman Asli

rwp siska

Penikmat perspektif yang terselip

Bongkar Strategi Pengakuan Presiden tentang Pelanggaran HAM Berat

Diperbarui: 18 Januari 2023   10:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: SERANG NEWS

Pengakuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang adanya 12 (dua belas) pelanggaran HAM berat di Indonesia yang terjadi di masa lalu, (Rabu, 11/01/2023) mengundang berbagai opini publik. 

Adapun kasus pelanggaran HAM berat masa lalu itu di antaranya: Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Talangsari, Lampung 1989, Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Kerusuhan Mei 1998, Trisakti dan Semanggi I -- II 1998-1999, Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Simpang KKA, Aceh 1999, Wasior, Papua 2001-2002, Wamena, Papua 2003, dan serta Jambo Keupok, Aceh 2003.

Publik berbondong-bondong menanggapi pengakuan presiden  ini dengan melontarkan opini positif dan negatif. Apresiasi positif disampaikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa dengan menyambut baik pengakuan Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Pengakuan ini dinilai sebagai langkah optimis untuk menuju keadilan kepada para korban, terutama 3 (tiga) kasus yang menjadi sorotan PBB, yaitu penumpasan antikomunis 1965-1966, penembakan pengunjuk rasa 1982-1985, penghilangan paksa 1997 dan 1998, serta insiden Wamena di Papua pada 2003.

Organisasi Masyarakat Sipil atau Civil Society Organization (CSO) kenamaan pun memberikan pendapat masing-masing terkait hal ini. Kekhawatiran akan pengakuan presiden Jokowi atas pelanggaran HAM berat disampaikan oleh Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Pengakuan ini dinilai hanyalah pembaruan dari janji lama dan diprediksi akan membuka celah penyelesaian non-yudisial.

Tone negatif lainnya juga disampaikan SETARA. Pengakuan dan penyesalan yang disampaikan Presiden RI dinilai merupakan bagian dari aksesori politik kepemimpinan Jokowi dalam memenuhi janji kampanyenya di pemilihan presiden (Pilpres) 2014 ketika hendak mencalonkan diri sebagai presiden. Sementara itu, Amnesty International Indonesia menyatakan, pengakuan presiden terhadap pelanggaran HAM masa lalu tersebut tidak ada artinya jika tidak diikuti oleh pertanggungjawaban hukum yang jelas.

Penggunaan Diksi dalam Strategi Komunikasi

Pada penyampaian pesan dalam pidato Presiden Jokowi terkait pelanggaran HAM berat masa lalu mencakup pemilihan kata atau diksi. Penggunaan diksi penting untuk menghindari kesalahpahaman dalam berkomunikasi dan untuk menimbulkan efek yang diharapkan (Kompas.com, 2021).

Ketepatan diksi berhubungan erat dengan makna kata dan kosa kata. Semakin banyak kosa kata yang diucapkan pembicara, semakin besar kebebasannya dalam memiliki kata dan berekspresi lewat kosa kata yang mewakili pemikirannya.Diksi yang tepat akan berdampak pada ketepatan makna pula.

Diksi merupakan kunci utama dalam menulis gagasan dan komunikasi secara lisan. Kata yang tepat akan membantu seseorang mengungkapkan dengan tepat apa yang ingin disampaikan, baik secara lisan maupun tulisan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline