Lihat ke Halaman Asli

Cerita Lain Soal Jilbab

Diperbarui: 24 Juni 2015   13:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa hari terakhir Kompasiana dihebohkan dengan artikel bertemakan Jilbab. Pro kontra pun ramai bermunculan. Ada komentar-kementar yang berbau sara dan pelecahan agama. Saling serangpun tak terelakkan. Silahkan saja berdebat dan beradu argument. Masalah siapa yang benar dan yang salah, biarkan pembaca yang menilai. Masyarakat kita sudah semakin cerdas kok. Terlebih, kebanyakan pengguna Kompasiana konon katanya para kaum intelek berpendidikan tinggi. Tentunya, akan lebih bijak dalam menyikapi sebuah perbedaan pendapat. Tidak perlu ribut tak perlu saling sikut.

Melihat ramainya perdebatan tersebut, teringat pengalaman istri saya hampir setahun silam berkenaan dengan Jilbab. Lantas saya terinspirasi untuk menulis artikel ini. Ceritanya begini :

Istri saya adalah seorang muslim dan berjilbab. Ia bekerja sebagai Perawat di sebuah poliklinik kesehatan. Memang, sedari kecil ia bercita-cita menjadi seorang perawat. Menurutnya, profesi ini merupakan sebuah pekerjaan mulia.

Pada suatu hari ia mengatakan bahwa ada informasi ika di instansi lain membuka lowongan untuk posisi perawat juga. Konon, gaji yang ditawarkan lebih tinggi dari tempat ia bekerja sekarang. Memang seh kabarnya Instansi tersebut milik kaum berbeda keyakinan dengan kami alis berbeda agama. Namun, niat istri saya tulus untuk bekerja merawat orang-orang sakit , jadi tidak ada salahnya untuk di coba. Lokasinya yang lebih dekat dengan rumah membuat istri saya tertarik. Lantas ia mengirim surat lamaran..

Kurang dari seminggu, lamaran istri saya direspon cepat oleh pihak manajemen. Istri saya diminta datang untuk menjalani serangkaian test. Alhasil ia pun lulus. Seperti kebanyakan proses perekrutan karyawan pada umumnya, ia harus menjalani tahap akhir seleksiyaitu wawancara.

Sehari kemudian istri saya diminta untuk datang lagi mengikuti wawancara. Awalnya pembicaraan dalam proses wawancara hanya soal gaji, job description, jam kerja dan lain-lain seputar pekerjaan. Tiba-tiba si pewawancara mengatakan bahwa untuk bekerja di sini tidak boleh berjilbab. Istri saya harus menanggalkan jilbabnya jika berminat menjadi karyawan di sana. Perihal tersebut adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar. Aturannya memang seperti itu. Namun, pihak manajemen tidak memaksa istri saya. Mereka memberi waktu beberapa hari kepada istri saya untuk mempertimbangkannya.

Setelah kami berembug, istri saya mengurungkan niat bekerja disana dan tetap menjadi perawat di tempat semula hingga sekarang. Kami berpendapat tidak akan menanggalkan jilbab dalam kondisi apapun, termasuk pekerjaan. Bukan apa-apa sih, hanya masalah prinsip saja. Kami pun menghargai mereka yang tak berjilbab. Itu urusan masing-masing yang penting tidak usah mengolok, mengecek. Sebaliknya kita saling menghormati saja…

Salam ( Rahardi Widodo )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline