Lihat ke Halaman Asli

Violla Reininda

Konversi isi kepala.

Ketika Bawaslu dan KPU Tak Satu Perahu

Diperbarui: 7 September 2018   10:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: http://bali.tribunnews.com

Putusan pengawas penyelenggara pemilu Toraja Utara, Aceh, dan Sulawesi  Utara tengah menuai polemik. Pasalnya, putusan tersebut dinilai bertentangan dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018  tentang Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota (PKPU No. 20/2018) yang berkenaan dengan pelarangan eks  narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg).

Putusan  tersebut merupakan jawaban atas gugatan yang diajukan oleh bakal caleg  DPD dari Sulawesi Utara Syahrial Damapolii, bakal caleg DPD dari Aceh  Abdullah Puteh, dan bakal caleg DPRD Toraja Utara Joni Kornelius Tondok  yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) karena merupakan mantan napi  korupsi. Putusan ini membatalkan keputusan KPU daerah, sehingga  kepesertaan ketiganya dianggap Memenuhi Syarat (MS).

Banyak  pihak yang mendorong Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI untuk meninjau  putusan Bawaslu daerah tersebut, sebab diasumsikan tidak sejalan dengan  semangat pemberantasan korupsi. 

Namun demikian, keberanian Bawaslu  daerah untuk menginvalidasi keputusan KPU patut diapresiasi, sebab  merupakan koreksi atas ketentuan PKPU yang telah mencoreng logika hukum  dan bersifat sewenang-wenang.

Dari Awal

Kesalahan dalam pelarangan eks napi  korupsi pada dasarnya telah timbul dari awal penyematan Pasal 4 ayat (3)  PKPU No. 20/2018 yang mensyaratkan, dalam seleksi bakal calon oleh  partai politik yang dilakukan secara demokratis dan terbuka, tidak  menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap  anak, dan korupsi. Ketentuan ini bukan lagi bernilai pembatasan hak  pilih, melainkan penghapusan hak konstitusional individu tertentu.

Tindakan KPU telah melebihi batas kewenangannya. Undang-undang saja,  sebagaimana dikemukakan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015 dan Putusan Nomor 51/PUU-XVI/2016, tidak dapat mencabut hak pilih seseorang, melainkan hanya memberi pembatasan-pembatasan yang  tidak bertentangan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. 

Selain itu, pembatasan tersebut pun harus didasarkan atas alasan-alasan yang kuat,  masuk akal, dan proporsional serta tidak berlebihan (Putusan Mahkamah  Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003).

Meninjau ketentuan internasional, dalam Siracusa Principles pun, yakni prinsip-prinsip mengenai ketentuan pembatasan dan pengurangan hak asasi manusia dalam International Covenant on Civil and Political Rights,  mengamini pembatasan hak politik warga negara, dengan catatan,  pembatasan tersebut tidak berlaku secara sewenang-wenang dan masuk akal.

Pencabutan hak, khususnya hak pilih, seyogianya hanya dapat dilakukan  dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sebagai bentuk hukuman tambahan atas tindak pidana yang dilakukan. 

Hukuman ini  bersifat fakultatif dan tidak boleh dijatuhkan tanpa pidana pokok (Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, 2008). Sebab sejatinya,  pencabutan hak pilih bersifat individual dan sekali selesai, artinya  langsung ditujukan pada pihak tertentu dan untuk masa waktu tertentu. Pencabutan hak pilih tidaklah bersifat kolektif atau umum dan tidak pula  berlaku secara terus-menerus.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline