Lihat ke Halaman Asli

Ruth Manullang

Focus on Political Issue

Merajut Kembali Sang Merah Putih

Diperbarui: 27 September 2019   10:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kehidupan bangsa Indonesia telah diwarnai oleh begitu banyak peristiwa, entah peristiwa yang baik atau peristiwa buruk. Masalah dan keberhasilan datang silih berganti, atau bahkan bersamaan. 

Fenomena yang terjadi di masyarakat, entah itu berasal dari luar, pemerintah, maupun masyarakat itu sendiri, telah mengubah beberapa aspek kehidupan sosial bangsa Indonesia. 

Masa reformasi yang telah berjalan selama 20 tahun menghantarkan Indonesia pada tahap kehidupan yang tentunya berbeda dari sebelum eksisnya masa reformasi ini.

Era reformasi, yang sejak awal mendukung kebebasan, mendorong warga negara untuk mengekspresikan pendapat, aspirasi dan kepentingan mereka secara bebas dan terbuka, tidak seperti pada masa Orde Baru. Perbedaan ini menunjukkan bahwa telah muncul satu identitas baru bagi masyarakat zaman now. Identitas baru yang telah dikantongi oleh masing-masing individu harus mampu dipertanggunggjawabkan .

Namun di era reformasi ini, peristiwa konflik antar warga, termasuk yang berlatar belakang agama dan budaya, justru semakin meningkat dibandingkan dengan pada masa Orde Baru. 

Demikian pula muncul ekspresi kebebasan dalam bentuk kekerasan dan radikalisme, yang justru mengganggu harmoni dan kedamaian dalam kehidupan bangsa dan negara, bahkan dapat mengancam NKRI dan kebhinnekaan. Ini menunjukkan kesanggupan dan kesiapan 'mengantongi' identitas baru tersebut masih kurang. Identitas baru tersebut sangat rentan terkena 'virus' dari permasalahan bawaan negara ini, yaitu keberagaman.

Keberagaman adalah emas dan malapetaka dalam waktu yang bersamaan. Indonesia tak akan mampu berjalan sejauh ini tanpa didasari dengan keberagaman. Burung Garuda (dalam Lambang Negara) akan kehilangan kegagahan dan wibawanya tanpa mencengkram garis khatulistiwa bertuliskan "Bhinneka Tunggal Ika". 

Indonesia tidak bisa disebut sebagai "Indonesia" jika tidak memuat perbedaan didalamnya. Indonesia tidak akan dikenal di mancanegara jika bukan karena suku, budaya, dan etnis yang beragam yang mampu menarik para pelancong untuk datang dan mengenal perbedaan tersebut. Ada begitu banyak penghargaan atas Indonesia karena keberagamannya.

Namun, tantangan terbesar bangsa Indonesia justru berasal dari emasnya, yaitu keberagaman (baca : perbedaan). Ketidakmampuan menyikapi keberagaman justru mengubah pola pikir kita, mengatakan bahwa tidak ada namanya "keberagaman". 

Kata yang menggambarkan sekian banyak kekayaan kita itu adalah "perbedaan". Kekeliruan pola pikir seperti inilah yang membuat identitas baru Indonesia masa reformasi ini kian lama semakin menunjukkan pergerakan yang regresif. 

Di sini, kemajemukan sosial gagal mencapai pembauran atau penyesuaian satu sama lain, maka kemajemukan sosial berarti disentegrasi sosial. Dengan kata lain, kemajemukan gagal membentuk (disfungsional) masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline