Foto Berita Kompas.com
Dalam literatur dunia pewatangan, Semar Badranaya atau biasa dipanggil Semar sesungguhnya adalah jelmaan atau wujud lain dari Sang Hyang Ismaya, Kakak dari Sang Hyang Antaga (Togog Tejomantri) dan Sang Hyang Manikmaya (Batara Guru). Mereka adalah putra dari Sang Hyang Tunggal, tiga bersaudara pewaris tahta Kerajaan Kahyangan Suryalaya. Adiknya yang paling kecil dinobatkan sebagai panguasa Kahyangan Suryalaya, Raja Di Raja seluruh jagat yang lebih dikenal sebagai Batara Guru. Ditemani oleh Batara Narada, anak dari sepupu ayahanda Semar Badranaya, sebagai Patih atau penasehat Raja. Sang Hyang Ismaya (Semar) sendiri bersama Sang Hyang Antaga (Togog) diturunkan ke Marcapada (Bumi) untuk memelihara atau mengasuh anak keturunan Sang Hyang Manikmaya (Batara Guru). Semar ditugaskan mengasuh anak keturunan orang-orang baik dan Togog ditugaskan untuk membimbing anak keturunan Raksasa atau orang-orang jahat.
Sebelumnya, proses suksesi kepemimpinan di Kahyangan Suryalaya yang diperbutkan oleh ketiga bersudara tersebut –Semar, Togog dan Batara Guru-, dikisahkan dalam lebih dari satu versi. Dalam salah satu versi yang paling menarik menurut saya yaitu suksesi terjadi melalui sebuah sayembara adu kesaktian dengan menelan sebuah gunung lalu dimuntahkan lagi. Togog tidak berhasil menelan gunugn tersebut dan Semar tidak mampu memuntahkannya kembali. Manikmaya malah terlihat senang karena taktiknya berhasil. Sayembara tersebut sesungguhnya adalah idenya. Semar dan Togog yang ambisius untuk menduduki tahta Kahyangan Suryalaya sudah gelap mata tidak lagi berpikir sehat, dengan mudah dihasut untuk mengadu kesaktian dengan menelan gunung Jamurdipa lalu memuntahkannya lagi. Mereka berdua tidak menyadari bahwa sayembara itu adalah taktik licik Batara Guru agar Semar dan Togog mendapat kutukan dan tahta kerajaan akan jatuh kepada Batara Guru. Selanjutnya semua memang berjalan seperti yang diharapkan oleh Batara Guru.
Di dunia, Semar menjadi Ki Lurah di kampung Tumaritis dan memiliki 3 orang anak yaitu Astrajingga (Cepot), Dawala (Petruk) dan Gareng. Walaupun hanya menempati posisi sebagai Lurah dalam salah satu wilayah Kerajaan Amartapura milik keluarga Pandawa, Ki Lurah Semar dengan segala kesederhanaanya yang tampak, tetap dihormati oleh seluruh Ksatria keluarga Pandawa, tidak terkecuali Prabu Yudhistira. Pandawa Lima memang titisan Dewa-dewa, tapi Semar Badranaya sejatinya adalah Dewa, Sang Hyang Ismaya. Itulah sebabnya Semar Badranaya sangat dihormati oleh para Ksatria Pandawa.
Itu hanya sepenggal saja kisah tentang Semar Badranaya dari sekian banyak tentang keistimewaan sosok Semar dalam dunia pewayangan. Tidak usahlah kita bicara lebih jauh tentang makna simbolis pada sosoknya yang penuh filosopis. Seperti 8 helai rambut kuncungnya, warna tubuhnya yang hitam, kain yang dipakainya, tangan kanannya yang menunjuk ke atas dan tangan kiri ke belakang atau mustika Jamus Kalimusada. Tidak ketinggalan tawa filosofis Semar yang seperti orang menangis….Heuheu….(ingat cara ketawanya Mbah Sujiwotedjo?). Cukup dengan mengerti makna namanya saja, Semar= Haseming samar-samar (Javanologi) yang secara harfiah berarti ‘Sang Penuntun Makna Kehidupan’, kita bisa memahami dengan Jelas sekali bahwa Semar menempatiposisi khusus dalam kisah pewayangan. Semar bukan tokoh sembarangan. Semar adalah Dewa. Sidik paningal, tajam penglihatannya. Weruh sa’durung winarah, mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi.Mengetahui dengan pasti mobah mosik ing jagat-segala gerak perubahan alam. Tapi jangan mencari riwayat Semar ini dalam epos Mahabharat atau Rhamayana asli. Tidak akan ketemu. Itu murni hasil olah karya pujangga Indonesia. Ada yang menyebutkan bahwa Semar dan keluarganya adalah hasil kreasi Sunan Kalijaga dalam berdakwah dengan media wayang. Bahkan ada yang berani mengatakan bahwa kisah Semar sudah ada sebelum jaman Hindu, Budha dan Islam. Lebih mengerikan lagi ada yang beranggapan bahwa Semar adalah Nabi Syits.
Mengingat bahwa kisah Semar Badranaya ini bukan sebuah fakta historis dan lebih merupakan mitologi dan symbolis, siapa saja yang mampu sah-sah saja berimajinasi. Sehingga boleh saja jika sekarang ini ada yang berimajinasi bahwa Semar Badranaya menjelma ke dalam wujud manusia jaman sekarang, ke dalam wujud salah satu capres misalnya. Seperti yang pernah kita dengar di penghujung tahun 2013…
Entah karena saking cintanya atau mungkin memiliki pamrih tertentu, ada seorang dalang dan penggiat sanggar wayang dari Solo menghadiahkan Jokowi dengan sebuah wayang kulit berupa tokoh Semar setinggi 5 meter akhir tahun lalu. Wayang Semar tersebut dibuat selama satu bulan penuh yang dimulai pada malam 1 Suro dan berakhir pada penghujung bulan tersebut. Malam satu suro sendiri adalah malam keramat pada kultur Jawa. Replika wayang Semar itu terbuat dari kulit sembilan ekor kerbau pada bagian badan dan wajah. Adapun bagian puncung Semar dibuat dari kulit dua ekor kambing.
Tidak ada yang aneh dengan peristiwa tersebut. Pemberian hadiah kepada seseorang adalah hal yang sangat biasa. Tapi, kenapa harus Semar? Kenapa tidak Prabu Yudhistira? Prabu Yudhistira adalah seorang Raja. Tertua dari 5 bersaudara Pandawa Lima. Simak saja pernyataan dalang tersebut yang saya kutip dari salah satu media yang memuat berita tersebut.
"Semar ini digambarkan sebagai pamong dan pengemong tugas rakyat. Beliau (Jokowi) pantas menjadi pamong, seperti Semar,"
Kalau untuk sebuah teguran halus, jika ada kesempatan, saya akan berikan wayang Semar Badranaya kepada Bapak Jusuf Kalla. Seperti itulah perna yang tepat bagi Bapak Jusuf Kalla, pasangan Jokowi. Sudah sepuh. Jangan terlalu bernafsu dengan posisi wapres. Jadilah seperti Ki Lurah Semar Badranaya, tokoh bijak yang tetap mendapat pernghargaan dan penghormatan walau tidak berada di puncak kekuasaan.
Lebih jauh lagi menurut dalang tersebut, tokoh Semar itu juga mengibaratkan Jokowi dengan panjelmaning dewa atau jelmaan dewa. (Astagfirullaaaah….).
Seperti itukah gambaran para pendukung Jokowi?
Mengkultuskan dengan membabibuta seperti itu, kita wajib kawatir mereka yang berada di lingkaran Jokowi termasuk para intelektualnya akan mengendurkan daya kritis jika kelak Jokowi jadi Presiden. Siap-siaplah hanya akan menjadi cheerleaders, meminjam istilah Mbah Sujiwotedjo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H