Gagasan yang cukup booming ini benar-benar menarik banyak perhatian orang. Ada beragam respon terkait masalah ini. Mulai dari yang pro, hingga yang kontra. Mulai dari yang responnya relevan, sampai yang tidak relevan. Ada yang seolah-olah mendukung, tapi sekaligus juga mempermasalahkan. Oleh karena itu, saya kira, suatu pertimbangan ulang diperlukan terhadap gagasan ini. Dalam tulisan ini, saya mengajak pembaca sama-sama mengkritisi gagasan ini.
Yang perlu di ingat adalah gagasan ini hanyalah gagasan yang belum dijadikan aturan resmi. Seperti yang dikutip dari Metro TV pagi ini, gagasan full day school masih belum dijadikan peraturan resmi. Tapi, menurut pembicara di salah satu stasiun televisi itu, harusnya menteri mempertimbangkan alasannya sebelum mengagaskannya dimasyarakat umum.
Masalah dan Solusi Mendikbud
Dikutip dari Situs Berita Kompas, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy menggagas sistem "full day school" untuk pendidikan dasar (SD dan SMP), baik negeri maupun swasta. Alasannya agar anak tidak sendiri ketika orangtua mereka masih bekerja.
"Dengan sistem full day school ini secara perlahan anak didik akan terbangun karakternya dan tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orangtua mereka masih belum pulang dari kerja," kata Mendikbud di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Minggu (7/8/2016).
Dari pemahaman saya, kemendikbud menemukan suatu masalah bahwa (1) karakter anak masih belum terbangun, dan (2) anak-anak seringkali menjadi liar ketika tidak disekolah karena tak diawasi orang tua. Dengan demikian, solusi dari mendikbud adalah meningkatkan waktu disekolah dengan kegiatan-kegiatan tertentu. Tapi, mari bersikap netral dan kembali kepada pertanyaan utama. Permasalahannya adalah, bagaimana caranya membangun karakter anak dan mencegah keliaran anak-anak karena tidak ada orang tua sepulang sekolah?
Hal-Hal yang Perlu Dipikirkan
Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan terkait masalah ini. Yang pertama, segala hal yang menyebabkan seorang anak bertingkah laku dan berkarkter. Itu karena yang menyebabkan "keliaran" sebenarnya terletak pada keputusan diri mereka sendiri. Perihal eksternal juga bisa mempengaruhi seorang anak dalam berperilaku. Biasanya, hal-hal eksternal memanfaatkan dorongan (emosi). Dorongan sendiri beragam jenisnya. Ada yang dorongan natural (seks, sosial, dan lainnya) dan ada juga yang bentukan masing-masing orang sendiri (subyektif). Artinya, ketika ingin berbicara masalah perubahan tingkah laku, maka yang dipertanyakan adalah (1) hal-hal internal, dan (2) hal-hal eksternal.
Tapi, sebenarnya hal-hal eksternal tidak betul-betul ekternal. Misalnya, sebelum seseorang memasuki lingkungan yang rusak, maka ada pilihan dari dalam diri untuk meneruskan ke sana atau menolaknya. Jadi, fokus terkuat nantinya adalah masalah internal.
Yang kedua, yang tergolong sebagai anak-anak. Makna anak-anak itu sangat umum. Mulai dari yang remaja, hingga yang masih belum remaja. Inilah anak-anak yang ada pada Sekolah Dasar dan Menengah. Masing-masing manusia pada tahap itu memiliki dorongan psikis dan perkembangan otak yang berbeda. Maka habit-nya berbeda juga. Berarti, penanganannya juga akan berbeda.
Yang ketiga, yang mendidik anak-anak. Tanpa adanya pendidik, maka konsep-konsep yang sebelumnya dibicarakan akan terbuang sia-sia. Tak ada juga yang mengarahkan anak-anak kepada jalan yang benar apa bila salah.
Terakhir, asumsi yang melekat adalah tidak adanya orang tua. Artinya, tidak ada penjaga anak secara langsung.
Beberapa Pendapat
Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi menolak wacana penerapan full day school yang disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. Seperti yang dilansir dari Tribunnews, Kang Dedi berpendapat bahwa gagasan ini tidak cocok untuk diterapkan diberbagai kota. Sebab, konteks budayanya berbeda sehingga menghasilkan kegiatan yang berbeda-beda juga seusai sekolah. Ada yang harus membantu orang tua di sawah. Tapi memang ada juga yang menganggur. Jadi menurutnya, gagasan ini tidak bisa dilaksanakan dalam skala nasional.