Lihat ke Halaman Asli

Neo "The One", Rene Descartes dan Metode Berpikir Rasional

Diperbarui: 25 Juli 2016   10:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Neo The One. (powerlisting.wikia.com)

Judul tulisan ini saya buat memang cukup unik. Tapi bukan tanpa alasan. Sebab memang ada sesuatu yang ingin saya hubungkan antara Neo dalam film The Matrix dengan perjuangan Rene Descartes. Tapi tujuan utama saya bukan menceritakan kesamaannya, melainkan memaparkan karya menarik yang jarang sekali dimiliki oleh banyak orang hingga kini secara menyeluruh dan rasional --mungkin ini juga menjadi alasan kenapa muncul kerancuan dan ketidakjelasan di masyarakat dalam merumuskan solusi. Karya itu saya istilahkan sebagai "Metode Berpikir Rasional". 

Bagi saya, metode berpikir ini memiliki banyak manfaat yang bisa memberikan kita penyelesaian masalah yang kualitatif tetapi mendekati benar atau bahkan benar. Layaknya metode dalam ilmu/sains. Satu hal yang perlu di ingat: judul ini nggak guyon! hehe... dan bahasanya saya ringankan.

Kesamaan Neo The One dan Rene Descartes

Siapa yang tidak tau film The Matrix? ya siapa saja yang belum nonton dan belum pernah dengar namanya hehe. Kalau kamu adalah salah satu orang yang tidak tau apa-apa soal film The Matrix, saya bisa gambarkan lebih singkat.

Jadi pada dasarnya dalam film itu, manusia digambarkan sebagai obyek yang hidupnya berada dibawah aturan super computer. Artinya, segala pengalaman yang dia rasakan, baik itu berkebun, menulis, melihat, menyapa kawan yang sedang berolah-raga dan lainnya adalah ilusi. Mereka tidak nyata. Mereka hanya sedemikian informasi yang di-setting oleh super computer. Akan tetapi, sederet pengalaman itu tentunya merangsang perasaan manusia dan memberikan gairah kepada perasaan mereka. Kebahagiaan. Kenikmatan. Haru. Duka. Sehingga nampak berwarna. Jadi, sekalipun mereka tau bahwa kehidupan yang mereka alami adalah ilusi, namun mereka tidak mau keluar dari sana. Sebab kebahagiaan yang mereka peroleh begitu terasa. 

Tapi Neo dan teman-temannya sadar akan itu. Dia mencoba untuk tidak dikendalikan dalam dunia ilusi tersebut untuk memperjuangkan apa yang seharusnya diperjuangkan; kebenaran bahwa ini hanyalah ilusi. Demikian pula halnya dengan Rene Descartes yang menganggap bahwa dunia ini adalah ilusi semata. Tak ada kenyataan selain fakta bahwa aku berpikir. Therefore, Cogito Ergo Sum! Saya berpikir, maka saya ada!

Ya, ada kesamaan antara gagasan inti milik The Matrix dengan Rene Descartes. Bedanya, keduanya memiliki pengaruh yang berbeda. Kalau The Matrix banyak mendapatkan apresiasi di jaman kita, sebaliknya, Rene mendapatkan komentar "Ngomong opo se, kon iku gak jelas" ("kamu ngomong apa sih, kok gak jelas")

Sebuah Gagasan Berproses Pelik!

Sebagian orang yang "berpegang-kepada-kebahagiaan-dunia" mencemooh gagasan Rene. Meskipun demikian, kadang bagi saya terdengar lucu haha. Memang lucu sih... Misalnya ini:

Rene menghilang. Via blogspot.com

Tapi gagasan ini tidak tiba-tiba muncul sehingga Neo bisa ada dan mengemasnya lebih baik. Ada proses pelik di balik "eksisnya" gagasan "Cogito Ergo Sum" yang mempengaruhi Epistemologi dalam ilmu. Rasionalisme, maksud saya.

Crash Course Philosophy menggambarkan perenungan rene dengan cara yang lebih ringan. Dalam bagian "Flash Philosophy", perenungan Rene digambarkan sebagai sebuah sikap meragukan sekeranjang apel. Setiap apel mewakili kepercayaan Rene, dan keranjang mewakili kapasitas kepercayaan yang dipilihnya. Nah, melalui keragu-raguannya itu dia mengeluarkan kembali semua apelnya dan melakukan "inspeksi mendadak" terhadap mereka untuk memeriksa manakah yang benar-benar merupakan apel sehingga bisa dimasukkannya ke dalam keranjang.

Louis menceritakan ini lebih baik. Menurutnya, Descartes merasa tidak nyaman dengan kepercayaan yang sudah dia percayai semenjak kecil. Sebab ternyata, tidak semua yang dia percaya itu rasional, bahkan tidak semuanya berpendasaran!

Rumusan masalah yang dia hadapi adalah, bagaimana caranya agar dia bisa membedakan mana kepercayaan yang benar dan yang salah. Setelah banyak melakukan perenungan, ternyata dia menemukan bahwa satu-satunya hal yang benar, tidak bisa bisa diragukan dan pasti adalah fakta bahwa "saya berpikir". Sedangkan fakta ini adalah satu-satunya yang benar dan ada pada "diri saya" sehingga bisa dipercaya. Oleh sebab itu, satu-satunya fakta adalah "diri saya" sebagai "makhluk berpikir", sehingga "diri saya" yang sesungguhnya adalah "pikiran saya"; "saya berpikir maka saya ada".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline