Lihat ke Halaman Asli

Rudy Habibie: Semangat Bercita-cita dan Paradoks "Menyamakan Perbedaan"

Diperbarui: 22 Juli 2016   07:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiket Bioskop. (Arsip Pribadi)

Siang itu (21/7), saya bersama teman-teman setia berhijrah ke salah satu Mall yang cukup besar di Surabaya. Rasa rindu terhadap tempat ini langsung terobati, sebab sudah lebih dari 4 tahun lamanya saya tidak kesana. Ternyata banyak perubahannya ya. Eits, tapi tujuan kami kesana bukan untuk menanyakan kabar dan mengukur seberapa sesaknya gedung itu sekarang. 

Kami datang untuk melihat dan memahami kisah seorang Rudy Habibie yang katanya bisa diambil banyak pelajaran darinya untuk berkarir. Sinopsis tersingkat yang pernah saya ketahui itu akhirnya menggairahkan rasa penasaran saya, meski pada saat itu sedang sakit. Ya, biasalah, flu-batuk-panas... Tapi semangat saya untuk belajar dari Rudy begitu membara sehingga sakit ini tiada berarti yang besar! 

Bagaimana denganmu? Apakah kamu juga sudah tertarik untuk menonton filmnya? 

Setelah saya menonton, ternyata film ini pantas untuk diberi tepuk tangan dan sorakan: "Wow, such a very good film! Still better than Twillight!". Ya, artinya, bagi saya ini begitu bernilai top. Penilaian saya didasarkan kepada perbandingan film ini dengan film-film Indonesia yang lainnya yang khas dengan sekedar cinta-cintaan, kegalauan, cinta mati atau kalau tidak begitu ya humor-sensual dan horor-sensual. Saya sampai muak dengan film-film yang demikian itu. 

Tapi, film ini berbeda. Sekali lagi, FILM INI BERBEDA. Apakah yang membuatnya berbeda?

Pertama, film ini tidak di dominasi dengan percintaan. Justru, percintaan disini dijadikan sebagai salah satu bukti betapa semangatnya perjuangan seorang Rudy untuk mencapai cita-citanya. Kedua, film ini membawa gagasan "unik" yang mencoba untuk megkritisi pemikiran saya dan orang lain, kiranya. Bagi saya sendiri, gagasan ini adalah paradoks. Berikut saya uraikan keduanya.

Semangat Perjuangan Dalam Meraih Cita-cita 

Rudy Habibie adalah seorang yang jenius dan tegas untuk memilah antara yang benar dan yang salah. Cara berkomunikasinya yang khas itu membuat saya semakin mengagumi sosoknya. Akan tetapi, dibalik sosok yang demikian bagus itu, dia memiliki kekurangan. Dia tidak mudah mengendalikan emosinya. Wajar saja, tekanannya dalam meraih cita-cita memang besar. Namun bukan berarti tidak ada pelajaran yang bisa mengingatkan dan menambah wawasan saya di dalamnya. Justru banyak pelajaran yang bisa saya dapatkan darisana! Khususnya masalah usaha meraih cita-cita.

Pelajaran yang pertama yang bisa di dapat dari sini berasal dari dosen dan Rudy. Seorang dosen yang megajar Rudy ketika dikelas bertanya, "apakah yang terpenting dari aerodinamika?". Bagi rudy, yang terpenting adalah kalkulasi. Tapi bagi dosen, itu salah besar! Yang terpenting adalah bagaimana ilmu kita bisa memecahkan masalah yang ada. Masalah yang real ada di masyarakat saat itu. 

Jadi, ilmu bukan untuk bekerja mencari uang, bukan juga untuk sekedar keilmuan. Justru, ilmu itu hadir untuk perubahan. Untuk masyarakat. Untuk mengadakan pembangunan. Jadi, jika pencarian kompetensi ditujukan untuk meraih karir, maka karir yang kita hendak wujudkan harusnya memberikan efek yang nyata bagi peradaban manusia. Khususnya, bangsa kita sendiri. Jika karirnya tidak ditujukan untuk membawa perubahan, maka sebenarnya dia sudah mengingkari ilmu, bangsa, dan bahkan Tuhan. Jadilah dia buah simalakama.

Rudy memecahkan masalah kecelakaan pesawat. Sumber: Detik(dot)Com

Pelajaran kedua, untuk mencapai cita-cita maka kita harus membuat jalannya setepat mungkin. Rudy begitu tergila-gila dengan aerodinamika sejak kecil. Dia tidak mau meluangkan waktunya untuk hal yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan masalah masa depannya. Jadi, setiap waktunya dia melakukan hal-hal yang bersangkutan dengan cita-citanya. Jika diganggu, maka dia akan mencoba lepas dari gangguan itu. Misalnya, ketika dia sedang membaca buku kemudian ada orang Jerman yang terlalu basa-basi dengannya, maka dia memunculkan guyonan khasnya: "Kamu tau kenapa saya bisa berbahasa Jerman? karena saya suka memakan daging orang Jerman". 

Tujuannya apa? membuang hal-hal yang tidak dibutuhkan dalam meraih cita-cita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline