Lihat ke Halaman Asli

Senang atau Cemas: Kemunculan Modern Free-Thinker di Indonesia

Diperbarui: 13 Agustus 2016   06:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Numbers Academi via Line

Disuatu siang yang panas seperti biasanya, teman saya mengabarkan sesuatu. Hal itu membuat suasana menjadi tambah panas ketika, lagi-lagi, saya mengetahui gagasan-gagasan bebas itu bermunculan di LINE. Sangat pekat, dan radiks. Menyuarakan kemanusiaan dan kesalahan berpikir yang sedang terjadi. Ditengah banyaknya masyarakat yang masih labil dan tidak kritis! Apakah ini masalah? Bagi saya, ini masalah. Eh, masalah gak ya? hmmm

Radikal versi Perspektif via LINE

Hari ini kita diserang oleh beberapa kelompok "intelektual" yang, yah, ateis dan yah, radikal. Radikal bukan berarti sering menggonggong kepada orang-orang yang lewat kemudian menggigitnya. Memang ada dua kubu yang memaknai kata radikal. Tapi yang saya maksud radikal disini adalah kubu yang mengartikannya sebagai sesuatu yang sangat fundamental dalam kehidupan. Apalagi kalau bukan konsep? ya, kelompok ini menyerang melalui konsep-konsep dasar gagasan yang ada. Dengan itu, mereka mencoba menjatuhkan berbagai macam persepsi kehidupan manusia yang diatasnamakan agama dan budaya di masyarakat, dengan pandangan "intelek" yang agaknya "ilmiah". Disinilah alasan saya memberi judul tulisan ini dengan istilah "free thinker" sebab mereka itulah yang ingin saya soroti.

Free thinker bukan bermakna sebagai orang-orang yang bebas berpikir. Beda, kalau maknanya begitu, maka semua manusia adalah free thinker. Menurut wikipedia, free thinker adalah para praktisi yang mengagaskan bahwa kebenaran harus dibentuk dari logika, alasan, dan empirisme. Bukan malah kekuasaan, agama, an budaya.

Free Thinker menurut Wikipedia

Kemunculan mereka yang secara radiks dan berada ditengah pusat media sosial yang di dominasi oleh remaja dan akun-akun part time yang nyari uang bisa berbahaya, apalagi remaja kita tidak begitu kritis. Yah, yang dibentuk dari bangsa kita tidak muluk-muluk amat; tidak banyak Stephen Hawking atau Nabi Muhammad di masyarakat kita. Yang penting, menurut kebanyakan tetua para remaja, nyari uang dan hidup enak. Masa bodoh dengan kepribadian intelektual kalau uang tidak memenuhi kantong ajaib doraemon. Cara berpikir yang demikian inilah yang bisa memperosokkan bangsa kita ke dalam jurang ikut-ikutan dan berpikir dangkal.

Nah, free thinker ini adalah salah satu dari sekian kecil Stephen Hawking versi IndonesiaBerarti (dalam pandangan saya), mereka itu sosok yang lebih baik daripada generasi baru umumnya, sebab kecerdasan dan keilmuan yang mereka miliki. Gak tau lagi kalau masalah moralnya. Tapi namanya juga manusia, usahanya untuk mendapatkan pengetahuan masih tetap terbatas pada luasnya wawasan dan aspek-aspek yang mendukung usaha penalarannya. 

Saya merasa cemas dengan eksistensi mereka, sekaligus senang, sebab ini menunjukan kebangkitan intelektual di Indonesia. Sedangkan kecemasan yang ada pada perasaan saya didasari oleh pemikiran mereka, yang menurut saya masih kurang tepat. Meskipun nampaknya tepat. Pemikiran yang demikian ini bisa saja diterima dengan mudah oleh remaja kita, dan lambat laun gagasannya akan menginternalisasi pembaca. Mereka yang terinternalisasi akan menjadi ateis, atau setidak-tidaknya, orang yang sekuler.

Saya pikir gagasan mereka masih kurang tepat, karena kurang ilmiah. Tapi, hey, apa itu ilmiah?

Sederhananya, ilmiah berarti "secara keilmuan". Berarti, kekhasan yang digunakan untuk membahas sesuatunya adalah dengan pengetahuan-pengtahuan yang sistematis dan logis (ilmu). Jika pada gagasannya itu tidak menurut kepada runtutan dan valid secara kaidah berpikir tepat (logika = kaidah berpikir tepat), dan dengan pengetahuan yang tepat sebagai bahannya, maka dia tidaklah ilmiah. Masing-masing permasalahan memiliki runtutan logikanya masing-masing. Misalnya, runtutan logika matematika yang deduktif tidak sama dengan runtutan logika santifik yang deduktif-induktif. 

Sekarang saya coba bahas salah satu gagasan yang ada pada mereka, yang menurut saya masih kurang ilmiah. Misalnya, masalah Science vs Religion: "apakah agama sejalan dengan sains?"

Menurut saya, runtutan logika dan pengetahuan yang dibutuhkan itu berdasarkan atas beberapa pertanyaan:
Apa itu agama? Apa itu Sains? Kemudian, apa yang dimaksud dengan sejalan itu? Kapankah agama sejalan dengan sains dan kapankah dikatakan tidak sejalan? Apanya yang sejalan?

Agama itu banyak wujudnya. Tapi saya lebih setuju bahwa konsep agama secara umum itu adanya (1) Tuhan yang dijadikan sebagai otoritas tertinggi dalam hidup, (2) Ada ajaran yang harus diikuti, dan (3) Ada pembawa ajaran. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline