Lihat ke Halaman Asli

Psychopath

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Her feelings she hides.
Her dreams she can't find.
She's losing her mind.
She's fallen behind.
She can't find her place.
She's losing her faith.
She's fallen from grace.
She's all over the place."

------ -------
Rose, Rose!

Hatinya terbelenggu, terikat. Lihat raut wajah itu, penuh penderitaan, ketakutan, depresi. Wajah itu nyaris menangis, sedih rasanya. Matanya sembab, rambutnya acak-acakkan, dia menggenggam sesuatu, mirip seperti punyanya. Esther ingin sekali menolong Rose. Tapi dia tidak tahu caranya, tidak ada yang mau membantunya. Glenn juga tidak mau.
Dia tersiksa. Rose juga tersiksa. Jarak mereka begitu dekat, namun Rose terasa begitu jauh untuk disentuh, digapai. Lagipula, dia tidak bisa merasakan kulit Rose yang hangat, yang kadang basah oleh air mata. Dia tidak bisa.
Dua tahun. Esther menunggu dua tahun lamanya, sia-sia saja, dia tak pernah bisa memeluk Rose walau dia mampu melihatnya. Dia tidak dapat berbuat apa-apa, walau Rose menangis, dan sorot matanya begitu kelelahan.
Lou, kekasih Rose, menghilang dari hadapannya. Dia bingung, bagaimana menghubungi Lou.
"Esther," seseorang memanggilnya.
Dia menoleh, ketakutan, seluruh tubuhnya seperti bergetar, dia juga merinding. Dia benci sensasi ini, tapi dia takut sekali. Dia takut ada yang mengambil Rose darinya.
"Esther, ini Glenn."
Lega rasanya mendengar nama Glenn berdengung di telinganya. Dia hampir-hampir tidak bisa lagi membedakan suara orang. Dia takut lambat laun dia akan melupakan Glenn karena yang terngiang di telinganya hanyalah suara teriakan Rose, tangisan Rose, dan kebisuan Rose. Rose. Selalu dia. Tapi Rose tidak marah kalau ada Glenn.
"Sayang, Esther, kemarilah," suara lembut Glenn membelai telinganya.
Dia maju memeluk Glenn, meninggalkan Rose di tempat tidur kamarnya. Air mata itu keluar lagi, tak mampu dibendung, selalu muncul kalau Glenn ada.
"Glenn....," rintihnya.
"Aku tahu, aku tahu. Esther, bisakah kita bicarakan hal lain saja?" tanya Glenn.
Apa itu hal lain? Hal lain apa? batinnya. "Glenn, Rose..."
"Rose sudah lama meninggal..."
Meninggal! Lagi! Glenn telah buta! Rose ada di sini! Di tempat tidurnya, dia meraung frustasi di dalam hati.
Esther menggeleng. "Glenn, tolong. Kamu harus selamatkan dia. Aku sayang Rose. Dia terkunci..."
Glenn menyentuh hidungnya, Glenn selalu memperlakukannya seperti anak kecil, sabar sekali. Tapi Glenn tidak mau membantu Esther. Glenn tidak mau. Karena apa?
"Hm..., tahu tidak Esther? Aku bertemu dengan seseorang di taman, dia pintar melukis. Lukisannya bagus sekali," Glenn bercerita.
Tapi Esther tidak menghiraukannya. Dia menunduk, menangis lagi dalam diam. Dia tidak ingin putus asa, Glenn orang yang baik dan dia akan menolong Rose, dia yakin sekali. Tapi Glenn masih belum mau sekarang, hanya belum mau.
"Lukisan?"
Glenn tampak bersemangat ketika dia bertanya, dia menemukan kuncinya. "Ya! Lukisan tentang sunset, warna orange, hitam, laut, matahari. Indah sekali," Glenn tersenyum, senyumnya menyejukkan. Kalau Rose melihatnya, dia pasti bisa tersenyum juga. Tapi sayang, dia tidak tahu ke mana Rose kalau Glenn muncul.
"Benar, ya? Ada lukisan indah?" tanya Esther, ingin menunjukkan kalau dia berusaha menarik perhatian Glenn.
"Ya, ada. Tapi ada yang asli, Esther," ujar Glenn.
"Asli?" dia membeo tanpa memperhatikannya benar-benar.
"Kamu bisa melihatnya di pantai, kalau sore, saat matahari terbenam," Glenn makin antusias.
"Ajak Rose, ya?" tanya Esther bersemangat.
Glenn langsung murung.
"Glenn?"
Glenn menatap matanya. "Tidak bisa."
"Kenapa?" apa kamu membenci Rose, Glenn?
"Rose bisa melihatnya dengan caranya sendiri."
"Tapi aku mau bersamanya!"
"Aku bisa mengajakmu kalau kamu melepaskan Rose dari pikiranmu," Glenn mengajukan syarat, "Rose meninggal, Esther. Sadari itu, dan lepaskan dia," dan syaratnya susah bagi Esther.
Dia kembali menangis. Glenn memeluk tubuhnya, bagi Glenn, tubuh itu amat rapuh. Bagi Esther, tubuh Glenn bisa menyelamatkan Rose dari bayang-bayang kesedihan. Esther bisa merasakannya, tapi Glenn tidak.
******
"Di mana Lou, Rose?" dia ingin menemukan Lou secepatnya.
Tapi Rose tidak menjawabnya, atau dia tak bisa mendengarnya? dia tidak tahu. Esther ingin melihat Lou lagi.
Kata Glenn, sudah 2 tahun 5 bulan. Entah maksud Glenn apa. Tapi Glenn bilang Lou sudah sembuh. Ternyata Lou sakit. Jadi ada kesempatan baginya untuk memberitahu Lou bahwa Rose amat merana, sangat. Dan Lou pasti membantunya, karena Lou sayang pada Rose.
Pintu terbuka. Dia terkejut. Lou, Lou, Lou, batinnya bersorak girang.
"Lou!!" serunya.
Lou amat tenang berdiri di ambang pintu. Dia maju perlahan mendekat pada Esther. Tak ada seulas senyum dari Lou. Wajah Lou tegang, tapi tampaknya juga datar. Dia tak peduli bagaimana raut wajah Lou, yang penting, dia tahu Rose akan bebas, karena ada Lou.
"Lou?" dia berbisik takut, dia takut karena Lou begitu menyeramkan.
Samar-samar Lou tersenyum. Hatinya sedikit lega.
"Halo, Esther," sapa Lou.
Lou duduk di dekat Esther. Memandangnya sejenak, lalu tersenyum kecil lagi. Penampilan Lou amat rapi, tapi Lou jadi terlihat kurus sekarang.
"Lou..., apa kabar?" tanya Esther.
"Kamu bunuh Rose, ya," ujar Lou.
Esther tersentak. "Lou?"
Dia merasa pusing. Pusing sekali. Kepalanya berdenyut-denyut sakit, seperti yang sering terjadi, tapi kali ini dia tak mampu mengatasinya.
"Kamu bunuh Rose," itu pernyataan. Dari Lou.
"Bukan," jawabnya.
"Esther bunuh Rose. Esther bunuh saudaranya," Lou tersenyum.
Esther semakin pusing. Kilasan-kilasan itu, bayang-bayang itu, hantu masa lalunya, menyergapnya hingga kehabisan napas. Dia tersungkur di lantai kamarnya, tapi Lou tetap duduk di kursinya dan tertawa kecil.
Dia ingin minta tolong, tapi dia tahu tidak ada yang bisa menolongnya. Wajah Rose..., suara Rose, teriakan Rose. Dia ingat. Ingat semuanya hingga ingin dilupakannya.
Rose meninggal. Rose meninggal. Tapi bukan dia yang bunuh. Bukan.
******
Glenn terdiam. Dia memandang wajah Esther yang sedang tidur, di ranjang rumah sakit. Wajahnya tenang dan tak ada raut kesedihan. Hanya saja lingkaran hitam di bawah matanya terlihat amat jelas. Glenn benar-benar sayang pada Eshther, tapi dia tak tahu, kapan Esther bisa membalas rasa sayangnya itu dengan normal.
"Glenn...," panggil Fiona, ibu Esther.
"Ya," jawabnya datar.
"Sabar sekali...," keluhnya.
"Lou mana?"
"Menghilang. Polisi masih mencarinya."
"Kenapa?"
"Dia kabur dari tempat rehabilitasi. Dokter Er meneleponku, Lou menyuntik salah satu psikiatri dengan obat bius, secara paksa."
"Ya, Tuhan."
"Dia kembali dan dia bilang dia sudah sembuh, dia bilang itu padaku, Glenn. Melihatnya begitu stabil, membuat kepercayaanku bangkit. Satu-satunya yang timbul dalam benakku adalah Lou dapat membantu Esther."
"Esther berteriak kemarin. Katanya dia yang bunuh Rose. Dia memecahkan cermin itu. Lalu dia melihat wajah Rose hancur. Esther langsung pingsan," kata Glenn.
"Ayahnya ingin dia dirawat di rumah sakit jiwa, Glenn. Aku bingung," desah Fiona.
"Mungkinkah hanya itu jalan terbaik?" tanya Glenn, lebih kepada dirinya sendiri. "Dia tak bisa melepaskan bayangan Rose. Sulit baginya, pasti. Rose kembarannya. Mereka sama persis. Dengan melihat cermin, Esther beranggapan Rose terkurung."
"Ya, aku tak punya cara lain. Aku tidak tega berkata Rose sudah meninggal...," Fiona nyaris menangis.
"Tapi kamu tidak ingin kehilangan jiwa Esther juga, kan? Esther harus diselamatkan. Pikirannya selalu mengatakan Rose menderita, Rose terkurung, semuanya. Kenapa tidak mencoba membawanya ke rumah sakit? Hidupnya masih panjang. Dia akan sembuh, dia hanya butuh waktu," terang Glenn.
"Rose dan Esther mempunyai ikatan jiwa yang kuat. Mereka kembar yang identik seluruhnya. Jiwa dan pikiran mereka sama. Esther terpuruk karena kematian Rose. Dia tak pernah sendirian, Rose selalu menemaninya."
"Aku tahu."
"Dengan melihat cermin, dia seperti melihat Rose. Kamu tidak tahu bagaimana aku shock kala itu," Fiona sudah menangis.
Glenn tersenyum sedih, "Dia bilang padaku Rose sangat ketakutan, sedih, dan merana. Estherlah yang merana sebenarnya," Glenn membenamkan wajahnya pada kedua tangan. Sedih rasanya.
Sedih melihat Esther kehilangan akal sehatnya. Marah karena Lou datang membuat Esther makin terganggu dengan ucapannya yang sembarangan. Tapi dia tahu, kematian Rose karena Lou. Itulah sebabnya Lou menjadi gila dan dirawat. Hanya saja, kematian Rose begitu mempengaruhi hidup Esther, sehingga dia menderita depresi.
"Pulanglah, temani Esther. Tinggallah di sini dan jangan biarkan dia semakin menderita," pinta Glenn.
Fiona mengangguk. "Ya. Aku menyesal membiarkannya sendirian di sini, sementara aku pergi ke Chicago untuk melupakan rasa terpurukku...."
Jari-jari tangan Esther bergerak ketika Glenn sedang menggenggamnya.
"Esther?" panggil Glenn pelan.
"Glenn...,"
"Ya?"
"Aku gila, ya?"
*******




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline