Hari ini aku pulang. Terhitung sudah sembilan bulan lewat sepuluh hari aku tidak menginjakkan kaki ke tanah kelahiran. Aku pulang, memenuhi panggilan ibu yang konon rindu sekali pada anak pertamanya ini. Ah, aku juga rindu ibu.
Rindu pada masakannya yang selalu cocok di lidahku. Rindu duduk berdua saja dengannya di teras rumah, membicarakan hari panjang yang berhasil dilalui. Rindu dengan bau tubuhnya yang selalu membuat candu.
Aku pulang hari ini dengan menggunakan kereta api. Entah kenapa, rasanya aku selalu suka berdesakan dengan orang-orang di gerbong kereta. Biasanya, sambil mengamati riuh sesak gerbong kereta, aku suka iseng mengingat seseorang yang kutemukan di antara penumpang kereta yang berdesakan.
Setidaknya ada tiga hal yang paling kusuka di dunia ini: ibu, kereta, dan dia.
Dan kabar bahagianya, satu per satu hal yang kusuka akan lekas kutemui hari ini.
"Tidak sabar sekali bertemu dengan kalian," gumamku bahagia.
Perjalanan pulangku menghabiskan waktu satu jam tiga puluh menit. Kini, di hadapanku, gapura desa tempatku lahir dan besar sudah terpampang nyata. Aku berjalan masuk, menyisiri tiap jengkal desa yang kini banyak berubahnya. Ah, seketika aku merindukan desaku sepuluh tahun yang lalu.
Aku terus berjalan hingga pagar rumah ibu terlihat. Gegas kuajak kaki ini berlari. Aku meneriakkan nama ibu. Lalu, daun pintu dibuka dari dalam, menampilkan sosok perempuan berambut putih yang terlihat cantik sekali. Umur boleh mengambil kekuatan otot sendi ibu, tapi ia tak bisa melahap kecantikan ibu yang tiada tara.
Aku tak kuasa menahan diri untuk tidak memeluk ibu. Berbulan-bulan jauh darinya sukses membuatku dikeroyok rindu. Dan, sekarang gunungan rindu itu luruh. Lega hatiku melihatnya sehat dan tetap bugar. Tapi aku juga merasakan kengiluan ketika menyadari ibu hanya seorang diri di rumah besar ini.
Ayah sudah barang pasti memilih tinggal di rumah istri mudanya. Sementara adik-adikku, mereka menimba ilmu di tanah orang.
"Beruntung kau masih ingat jalan pulang, Kak," tutur ibu. Aduh, suaranya merdu sekali.