Lihat ke Halaman Asli

Rusti Lisnawati

Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Asalnya dari Mata Agista

Diperbarui: 29 Mei 2024   12:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Tulis, hapus. Tulis lagi, hapus lagi. Sudah dapat satu kalimat, tapi bagian akhir rasanya kurang cocok. Hapus lagi. Coba lagi. Semoga kali ini beruntung. Disusun lagi anak-anak kalimat jadi satu kalimat yang padu. Kata-kata terus berjalan. Ditata dengan rapi sesuai tata tertib penulisan. Nah, sudah dapat satu paragraf. Dia baca ulang.

Sial! Di kalimat kelima, Dia menemukan kata yang seharusnya tidak ditempatkan di sana. "Kata ini lebih cocok disimpan di kalimat kedua. Sebagai penjelas," Dia menggerutu sepanjang membaca. Kata yang tidak cocok itu dihapus. Paragraf yang baru jadi dirombak. Kata-kata diutak-atik sedemikian rupa. 

Setidaknya Dia perlu delapan menit untuk menyelesaikan modifikasi paragraf pertama pembuka cerita. Ketika paragraf itu sudah rampung, Dia cek lagi. Cantik. Paragraf pertama selesai dibuat. Dia melanjutkan menulis paragraf kedua.

"Ditulis menjorok apa tidak ya?" Dia kebingungan soal peraturan penulisan paragraf yang benar.

Kepalanya mencoba mengingat kembali materi perkuliahan tentang menulis pada mata kuliah Keterampilan Menulis, Rabu kemarin. Kalau tidak salah dosen pengampu mengatakan, setiap paragraf ditulis menjorok untuk menandakan kalau itu adalah paragraf baru. Tetapi, di Kelas Menulis bulan kemarin, pemateri berpendapat jika hanya paragraf kedua dan seterusnya yang ditulis menjorok. Paragraf pertama tidak perlu. Dan ketika Dia hendak mengirimkan naskah ke tim media cetak lokal, Dia sempat bertanya, "Yang harus ditulis menjorok itu mulai dari paragraf pertama apa kedua, Mas?"

Oleh tim media cetak lokal dijawab terserah. Soal itu dikembalikan ke penulis, mau ditulis seperti apa dan dengan gaya apa.

"Kalau gaya kayang boleh, Mas?"

"Wah, sepertinya lebih enak pakai gaya bebas, Dik."

Ingatan Dia kembali ke hari ini. Jari-jarinya menari di atas meja dekat buku yang halamannya terbuka. Di halaman itu, sudah ada satu paragraf pembuka--yang menurut Dia sangat menarik untuk menarik perhatian pembaca. Sekarang giliran paragraf kedua.

"Menjorok atau tidak?" Dia bertanya lagi kepada pantulan dirinya di cermin.

Oleh karena Dia diciptakan sebagai manusia anti pusing, segera saja tangannya menggenggam pena, melanjutkan menulis. Dia memutuskan untuk menjorokkan paragraf kedua. Baru beberapa kata yang berhasil dibubuhkan, benak Dia berkata, "Sebaiknya enggak usah dijorok. Tulis saja seperti paragraf pertama."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline